I Gusti Ngurah Rai, Prajurit Sejati Bali

Selamat Datang di Blog Materi IPA. Judul Postingan Kali ini tentang I Gusti Ngurah Rai, Prajurit Sejati Bali. Semoga bermanfaat untuk dibaca.
Prajurit sejati tidak akan pemah lari dari medan pertempuran. Jika terpaksa mundur, bukan berarti mengalah melainkan kembali menyusun kekuatan untuk kembali menggempur. Prajurit sejati pantang untuk menyerah karena mati berkalang tanah lebih utama dibandingkan mengacungkan tangan tan­da menyerah. Salah satu ciri prajurit sejati terdapat pada lelaki bangsawan Bali ini. I Gusti Ngurah Rai namanya.



I Gusti Ngurah Rai dilahirkan di Carangsari, Bali, pada tanggal 9 Januari 1917. la putra I Gusti Ngurah Palung yang semula menjabat Manca (setingkat Camat). Selepas dari pendidikan MULO di Malang pada tahun 1936, ia menjadi kadet militer di Gianyar, Bali. Ia kemudian meneruskan karier militernya dengan memasuki Pendidikan Perwira Cadangan (CORO - Corps Opleiding voor Reserve Officieren) di Magelang, Jawa Tengah. Lulus dari pendidikan militer tersebut, I Gusti Ngurah Rai bertugas pada Corps Prayudha Bali dengan pangkat Letnan Dua.

Setelah Indonesia merdeka, I Gusti Ngurah Rai membentuk TKR Sunda Kecil dan ia ditunjuk menjadi komandan pasukan tersebut dengan pangkat Letnan Kolonel. Pada tahun 1946 ia berangkat ke markas besar TKR di Yogyakarta untuk menerima petunjuk-petunjuk yang diperlukannya. Sekembalinya dari Yogyakarta pada bulan Februari 1946, pasukan Belanda ternyata telah mendarat di Bali. Kondisi yang sangat genting itu memaksa I Gusti Ngurah Rai untuk bersegera menyatukan segenap kekuatan pasukan Ciung Wanara yang dipimpinnya.

Dengan gagah berani pasukan Ciung Wanara melawan pasukan Belanda. Semula pasukan pimpin­an I Gusti Ngurah Rai tersebut dapat memukul mundur pasukan Belanda. Namun pasukan Belanda mengi­rimkan bantuan besarnya hingga mereka berbalik memukul mundur pasukan Ciung Wanara. Pasukan pimpinan I Gusti Ngurah Rai terjebak dalam medan perang terbuka dengan jurang menganga di belakang mereka. Dalam suasana kritis itu Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai menyerukan perintah Puputan (pe­rang habis-habisan). Lebih baik mati berkalang tanah sebagai kesatria dibandingkan menyerah kepada mu­suh. Maka pertempuran yang sangat dahsyat pun ter­jadi. Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai beserta segenap anggota pasukan Ciung Wanara menepati janji mereka gugur seba­gai kusuma bangsa setelah memberikan perlawanan luar bia­sa sengit mereka.

Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai wafat di Margarana, 18 November 1946. Jenazah I Gusti Ngu­rah Rai dimakamkan di Candi Marga, Ta­banan, Bali. Peristi­wa heroik yang ditun­jukkan pasukan Ciung Wanara dikenal dengan nama Puputan Margarana. Pemerintah Indonesia meng­anugerahi kenaikan pangkat satu tingkat, menjadi Kolonel Anumerta, kepada I Gusti Ngurah Rai dan juga mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1975.