Yusuf al-Qardhawi lahir di Desa Shafat at-Turab, Mahallah al-Kubra, Gharbiah, Mesir, pada tanggal 7 September 1926. Nama lengkapnya adalah Yusuf bin Abdullah bin Ali bin Yusuf. Sedangkan, Al-Qardhawi merupakan nama keluarga yang diambil dari nama daerah tempat mereka berasal, yakni al- Qardhah. Ketika usianya belum genap 10 tahun, ia telah mampu menghafal al-Qur'an. Seusai menamatkan pendidikan di Ma'had Thantha dan Ma'had Tsanawi, ia meneruskan pendidikan ke Fakultas Ushuluddin, Universitas al-Azhar, Kairo.
Yusuf al-Qardhawi adalah seorang cendekiawan muslim yang berasal dari Mesir, Ia dikenal sebagai seorang mujtahid pada era modern. Selain sebagai seorang mujtahid, ia juga dipercaya sebagai seorang ketua majelis fatwa. Banyak dari fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan, digunakan sebagai bahan rujukan atas permasalahan yang terjadi. Namun, banyak pula yang mengkritik fatwa-fatwanya.
Yusuf al-Qardhawi menyelesaikan program doktornya pada tahun 1973. Untuk meraih gelar doktor di Universitas al-Azhar, Kairo, ia menulis disertasi dengan judul "Zakat dan Pengaruhnya dalam Mengatasi Problematika Sosial". Disertasi ini telah dibukukan dan diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, termasuk dalam edisi bahasa Indonesia. Sebuah buku yang sangat komprehensif membahas persoalan zakat dengan nuansa modern.
Sebab keterlambatannya meraih gelar doktor adalah karena ia sempat meninggalkan Mesir akibat kejamnya rezim yang berkuasa saat itu. Yusuf al-Qardhawi terpaksa menuju Qatar pada tahun 1961, dan di sana sempat mendirikan Fakultas Syariah di Universitas Qatar. Pada saat yang sama, ia juga mendirikan Pusat Kajian Sejarah dan Sunnah Nabi, la mendapat kewarganegaraan Qatar dan menjadikan Doha sebagai tempat tinggalnya.
Selain itu, pada tahun 1957, Yusuf al-Qardhawi juga menyempatkan diri memasuki Institut Pembahasan dan Pengkajian Arab Tinggi dengan meraih diploma tinggi bahasa dan sastra Arab. Dalam perjalanan hidupnya, ia pernah mengenyam "pendidikan" penjara sejak mudanya. Saat Mesir dipegang oleh Raja Faruk, Yusuf al-Qardhawi masuk penjara pada tahun 1949, saat umurnya masih 23 tahun, karena keterlibatannya dalam pergerakan Ikhwanul Muslimin. Pada April tahun 1956, ia ditangkap lagi saat terjadi Revolusi Juni di Mesir. Bulan Oktober, ia kembali mendekam di penjara militer selama dua tahun. Namun, justru pengalamannya keluar-masuk penjara itulah yang akhirnya menjadi salah satu faktor yang menyebabkannya menjadi orang besar.
Yusuf al-Qardhawi terkenal dengan khutbah-khutbahnya yang berani sehingga sempat dilarang sebagai khatib di sebuah masjid di daerah Zamalik. Alasannya, khutbah-khutbahnya dinilai menciptakan opini umum tentang ketidakadilan rezim saat itu.
Yusuf al-Qardhawi memiliki tujuh anak; empat putri dan tiga putra. Sebagai seorang ulama yang.sangat terbuka, ia membebaskan anak-anaknya untuk menuntut ilmu apa saja sesuai dengan minat, bakat, dan kecenderungan masing- masing. Hebatnya lagi, ia tidak membedakan pendidikan yang harus ditempuh oleh anak-anak perempuan atau laki-lakinya. Salah seorang putrinya memperoleh gelar doktor fisika dalam bidang nuklir dari Inggris. Putri keduanya memperoleh gelar doktor dalam bidang kimia juga dari Inggris. Sedangkan, anak ketiganya masih menempuh S3. Adapun yang keempat telah menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Texas Amerika. Anak laki-laki yang pertama menempuh S3 dalam bidang teknik elektro di Amerika, yang kedua belajar di Universitas Darul Ulum Mesir. Sedangkan, yang bungsu telah menyelesaikan kuliahnya pada fakultas teknik jurusan listrik.
Dilihat dari beragamnya pendidikan anak-anaknya, kita bisa membaca sikap dan pandangan Yusuf al-Qardhawi terhadap pendidikan modern. Dari tujuh anaknya, hanya satu yang belajar di Universitas Darul Ulum Mesir, dan menempuh pendidikan agama. Sedangkan, yang lainnya mengambil pendidikan umum, dan ditempuh di luar negeri. Salah satu penyebab anak-anaknya mengambil pendidikan umum tak lain karena Yusuf al-Qardhawi merupakan seorang ulama yang menolak pembagian ilmu secara dikotomis. Semua ilmu bisa islami dan tidak islami, tergantung pada orang yang memandang dan mempergunakannya. Pemisahan ilmu secara dikotomis itu, menurutnya, telah menghambat kemajuan umat Islam.
Yusuf al-Qardhawi dikenal sebagai ulama dan pemikir Islam yang unik sekaligus istimewa. Hal ini tak lain dan tak bukan karena ia memiliki cara atau metodologi khas dalam menyampaikan risalah Islam. Lantaran metodologinya itulah, ia mudah diterima di kalangan dunia Barat sebagai seorang pemikir yang selalu menampilkan Islam secara ramah, santun, dan moderat. Kapasitasnya itulah yang membuatnya kerap kali menghadiri pertemuan internasional para pemuka agama di Eropa maupun Amerika sebagai wakil dari kelompok Islam.
Dalam lentera pemikiran dan dakwah Islam, kiprah Yusuf al-Qardhawi menempati posisi vital dalam pergerakan Islam kontemporer. Waktu yang dihabiskannya untuk berkhidmat kepada Islam, berceramah, menyampaikan masalah-masalah aktual dan keislaman di berbagai tempat dan negara menjadikan sosok sederhana ini sangat besar di berbagai belahan dunia. Khususnya, dalam pergerakan Islam kontemporer melalui karya karyanya yang mengilhami kebangkitan Islam modern.
Yusuf al-Qardhawi telah menulis sekitar 125 buku dalam berbagai dimensi keislaman. Sedikitnya, 13 aspek kategori dalam karya-karyanya, di antaranya adalah masalah fiqh dan ushul fiqh, ekonomi Islam, ilmu al-Qur'an dan sunnah, akidah dan filsafat, fiqh perilaku, dakwah dan tarbiyah, gerakan dan kebangkitan Islam, penyatuan pemikiran Islam, pengetahuan Islam umum, serial tokoh-tokoh Islam, sastra, dan lainnya. Sebagian dari karyanya itu telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Tercatat, sedikitnya 55 judul buku Al-Qardhawi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Selain tugas pokoknya sebagai pengajar dan da'i, Yusuf al-Qardhawi aktif pula dalam berbagai kegiatan sosial untuk membantu saudara-saudaranya, umat Islam, di berbagai belahan dunia.
Yusuf al-Qardhawi mempunyai ketajaman akal dan pandangan yang bernas dalam mengutarakan sesuatu dan menyelesaikannya dalam konteks masyarakat kini. Perkara ini dapat dilihat dalam berbagai tulisannya, terutama mengenai gerakan Islam dan keutamaannya dalam menghadapi arus globalisasi.
Yusuf al-Qardhawi adalah seorang cendekiawan muslim yang berasal dari Mesir, Ia dikenal sebagai seorang mujtahid pada era modern. Selain sebagai seorang mujtahid, ia juga dipercaya sebagai seorang ketua majelis fatwa. Banyak dari fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan, digunakan sebagai bahan rujukan atas permasalahan yang terjadi. Namun, banyak pula yang mengkritik fatwa-fatwanya.
Yusuf al-Qardhawi menyelesaikan program doktornya pada tahun 1973. Untuk meraih gelar doktor di Universitas al-Azhar, Kairo, ia menulis disertasi dengan judul "Zakat dan Pengaruhnya dalam Mengatasi Problematika Sosial". Disertasi ini telah dibukukan dan diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, termasuk dalam edisi bahasa Indonesia. Sebuah buku yang sangat komprehensif membahas persoalan zakat dengan nuansa modern.
Sebab keterlambatannya meraih gelar doktor adalah karena ia sempat meninggalkan Mesir akibat kejamnya rezim yang berkuasa saat itu. Yusuf al-Qardhawi terpaksa menuju Qatar pada tahun 1961, dan di sana sempat mendirikan Fakultas Syariah di Universitas Qatar. Pada saat yang sama, ia juga mendirikan Pusat Kajian Sejarah dan Sunnah Nabi, la mendapat kewarganegaraan Qatar dan menjadikan Doha sebagai tempat tinggalnya.
Selain itu, pada tahun 1957, Yusuf al-Qardhawi juga menyempatkan diri memasuki Institut Pembahasan dan Pengkajian Arab Tinggi dengan meraih diploma tinggi bahasa dan sastra Arab. Dalam perjalanan hidupnya, ia pernah mengenyam "pendidikan" penjara sejak mudanya. Saat Mesir dipegang oleh Raja Faruk, Yusuf al-Qardhawi masuk penjara pada tahun 1949, saat umurnya masih 23 tahun, karena keterlibatannya dalam pergerakan Ikhwanul Muslimin. Pada April tahun 1956, ia ditangkap lagi saat terjadi Revolusi Juni di Mesir. Bulan Oktober, ia kembali mendekam di penjara militer selama dua tahun. Namun, justru pengalamannya keluar-masuk penjara itulah yang akhirnya menjadi salah satu faktor yang menyebabkannya menjadi orang besar.
Yusuf al-Qardhawi terkenal dengan khutbah-khutbahnya yang berani sehingga sempat dilarang sebagai khatib di sebuah masjid di daerah Zamalik. Alasannya, khutbah-khutbahnya dinilai menciptakan opini umum tentang ketidakadilan rezim saat itu.
Yusuf al-Qardhawi memiliki tujuh anak; empat putri dan tiga putra. Sebagai seorang ulama yang.sangat terbuka, ia membebaskan anak-anaknya untuk menuntut ilmu apa saja sesuai dengan minat, bakat, dan kecenderungan masing- masing. Hebatnya lagi, ia tidak membedakan pendidikan yang harus ditempuh oleh anak-anak perempuan atau laki-lakinya. Salah seorang putrinya memperoleh gelar doktor fisika dalam bidang nuklir dari Inggris. Putri keduanya memperoleh gelar doktor dalam bidang kimia juga dari Inggris. Sedangkan, anak ketiganya masih menempuh S3. Adapun yang keempat telah menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Texas Amerika. Anak laki-laki yang pertama menempuh S3 dalam bidang teknik elektro di Amerika, yang kedua belajar di Universitas Darul Ulum Mesir. Sedangkan, yang bungsu telah menyelesaikan kuliahnya pada fakultas teknik jurusan listrik.
Dilihat dari beragamnya pendidikan anak-anaknya, kita bisa membaca sikap dan pandangan Yusuf al-Qardhawi terhadap pendidikan modern. Dari tujuh anaknya, hanya satu yang belajar di Universitas Darul Ulum Mesir, dan menempuh pendidikan agama. Sedangkan, yang lainnya mengambil pendidikan umum, dan ditempuh di luar negeri. Salah satu penyebab anak-anaknya mengambil pendidikan umum tak lain karena Yusuf al-Qardhawi merupakan seorang ulama yang menolak pembagian ilmu secara dikotomis. Semua ilmu bisa islami dan tidak islami, tergantung pada orang yang memandang dan mempergunakannya. Pemisahan ilmu secara dikotomis itu, menurutnya, telah menghambat kemajuan umat Islam.
Yusuf al-Qardhawi dikenal sebagai ulama dan pemikir Islam yang unik sekaligus istimewa. Hal ini tak lain dan tak bukan karena ia memiliki cara atau metodologi khas dalam menyampaikan risalah Islam. Lantaran metodologinya itulah, ia mudah diterima di kalangan dunia Barat sebagai seorang pemikir yang selalu menampilkan Islam secara ramah, santun, dan moderat. Kapasitasnya itulah yang membuatnya kerap kali menghadiri pertemuan internasional para pemuka agama di Eropa maupun Amerika sebagai wakil dari kelompok Islam.
Dalam lentera pemikiran dan dakwah Islam, kiprah Yusuf al-Qardhawi menempati posisi vital dalam pergerakan Islam kontemporer. Waktu yang dihabiskannya untuk berkhidmat kepada Islam, berceramah, menyampaikan masalah-masalah aktual dan keislaman di berbagai tempat dan negara menjadikan sosok sederhana ini sangat besar di berbagai belahan dunia. Khususnya, dalam pergerakan Islam kontemporer melalui karya karyanya yang mengilhami kebangkitan Islam modern.
Yusuf al-Qardhawi telah menulis sekitar 125 buku dalam berbagai dimensi keislaman. Sedikitnya, 13 aspek kategori dalam karya-karyanya, di antaranya adalah masalah fiqh dan ushul fiqh, ekonomi Islam, ilmu al-Qur'an dan sunnah, akidah dan filsafat, fiqh perilaku, dakwah dan tarbiyah, gerakan dan kebangkitan Islam, penyatuan pemikiran Islam, pengetahuan Islam umum, serial tokoh-tokoh Islam, sastra, dan lainnya. Sebagian dari karyanya itu telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Tercatat, sedikitnya 55 judul buku Al-Qardhawi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Selain tugas pokoknya sebagai pengajar dan da'i, Yusuf al-Qardhawi aktif pula dalam berbagai kegiatan sosial untuk membantu saudara-saudaranya, umat Islam, di berbagai belahan dunia.
Yusuf al-Qardhawi mempunyai ketajaman akal dan pandangan yang bernas dalam mengutarakan sesuatu dan menyelesaikannya dalam konteks masyarakat kini. Perkara ini dapat dilihat dalam berbagai tulisannya, terutama mengenai gerakan Islam dan keutamaannya dalam menghadapi arus globalisasi.
Dalam buku Fiqhal-Awwalawiyya ia menguraikan keutamaan dengan mengambil contoh dari al-Quran, sunnah, serta para pendakwah sepanjang zaman, Ia menguraikan perkara ini dengan jelas dan mudah dipahami sehingga mencengkeram jiwa pembacanya. Walaupun perkara keutamaan ini telah dinyatakan dalam al-Qur'an, tetapi semakin diabaikan. Sehingga, Al-Qardawi menulis buku ini untuk menyadarkan peranan yang perlu dipikul oleh umat Islam.
Selain itu, Al-Qaradawi juga mengakui peranan akal dalam Islam, ia menyatakan dalam bukunya Al ilmu wal 'Aqlu fil Islam (Ilmu dan Akal dalam Islam) tentang kedudukan akal. Islam memuliakan akal. Meskipun demikian, akal harus dibimbing oleh wahyu.
Yusuf al-Qardhawi juga seorang sastrawan. Sejak kecil, ia menulis rangkap syair-syair Arab, Ia amat menyukai syair yang bertemakan ketuhanan dan kemanusiaan, la juga mempunyai buku syair yang berjudul Nafahat Lahahat, dan Al-Muslimun al-Qadimun. Bahkan, karena syairnya, ia sempat mendekam di penjara.
Yusuf al-Qardhawi adalah seorang yang mempunyai keruhanian yang tinggi. Sifat ini semestinya ada bagi setiap orang yang berada dalam medan dakwah. Keruhanian ini akan memancarkan ketulusan kepada Tuhan dan menguatkan iman. Yusuf al-Qardhawi menyebutkan bahwa penjara telah banyak memberi latihan dan pengajaran kepada golongan ikhwan untuk meningkatkan amalan keruhanian, terutama dalam bulan Ramadhan. Di sini juga, mereka mengamalkan mathurat setiap shalat Subuh dan Maghrib.
Yusuf al-Qardhawi merupakan sosok yang menjunjung tinggi nilai persaudaraan dan persahabatan. Kesetiaannya terhadap sahabat dapat dilihat dalam karangannya tentang hubungan persahabatan dengan Muhammad al-Ghazali selama lebih 50 tahun. Yusuf al-Qardhawi juga mengarang buku tentang hubungan persahabatan dengan An-Nadwi sejak An-Nadwi melawat Mesir pada tahun 1951.
Selain itu, Yusuf al-Qardhawi menulis ucapan takziah kepada sahabat-sahabatnya yang telah meninggal dunia. Ucapan- ucapan takziah itu dikumpulkan menjadi satu buku yang bertajuk Fi Wada' al-Alam. Antara ucapan takziah yang diberikan oleh Al-Qardhawi kepada Anwar al-Jundi, Ali Tantawi, Adil Husain, Muhamad Qutbah, Abdul Halim Abu Shaqah, Abdul Aziz bin Baz, Sayyid Sabiq, Mustafa al-Zarqa', Jadul Haq Ali Jadul Haq, Muhammad al-Ghazali, Abdullah al- Ansari, dan Abdullah bin Zaid al-Mahmud.
Selain itu, Al-Qaradawi juga mengakui peranan akal dalam Islam, ia menyatakan dalam bukunya Al ilmu wal 'Aqlu fil Islam (Ilmu dan Akal dalam Islam) tentang kedudukan akal. Islam memuliakan akal. Meskipun demikian, akal harus dibimbing oleh wahyu.
Yusuf al-Qardhawi juga seorang sastrawan. Sejak kecil, ia menulis rangkap syair-syair Arab, Ia amat menyukai syair yang bertemakan ketuhanan dan kemanusiaan, la juga mempunyai buku syair yang berjudul Nafahat Lahahat, dan Al-Muslimun al-Qadimun. Bahkan, karena syairnya, ia sempat mendekam di penjara.
Yusuf al-Qardhawi adalah seorang yang mempunyai keruhanian yang tinggi. Sifat ini semestinya ada bagi setiap orang yang berada dalam medan dakwah. Keruhanian ini akan memancarkan ketulusan kepada Tuhan dan menguatkan iman. Yusuf al-Qardhawi menyebutkan bahwa penjara telah banyak memberi latihan dan pengajaran kepada golongan ikhwan untuk meningkatkan amalan keruhanian, terutama dalam bulan Ramadhan. Di sini juga, mereka mengamalkan mathurat setiap shalat Subuh dan Maghrib.
Yusuf al-Qardhawi merupakan sosok yang menjunjung tinggi nilai persaudaraan dan persahabatan. Kesetiaannya terhadap sahabat dapat dilihat dalam karangannya tentang hubungan persahabatan dengan Muhammad al-Ghazali selama lebih 50 tahun. Yusuf al-Qardhawi juga mengarang buku tentang hubungan persahabatan dengan An-Nadwi sejak An-Nadwi melawat Mesir pada tahun 1951.
Selain itu, Yusuf al-Qardhawi menulis ucapan takziah kepada sahabat-sahabatnya yang telah meninggal dunia. Ucapan- ucapan takziah itu dikumpulkan menjadi satu buku yang bertajuk Fi Wada' al-Alam. Antara ucapan takziah yang diberikan oleh Al-Qardhawi kepada Anwar al-Jundi, Ali Tantawi, Adil Husain, Muhamad Qutbah, Abdul Halim Abu Shaqah, Abdul Aziz bin Baz, Sayyid Sabiq, Mustafa al-Zarqa', Jadul Haq Ali Jadul Haq, Muhammad al-Ghazali, Abdullah al- Ansari, dan Abdullah bin Zaid al-Mahmud.