Hingga abad ke-19, di Bali terdapat beberapa kerajaan seperti : Buleleng, Karangasem, Klungkung, Gianyar, Jembrana, Tabanan, Bangli, Badung dan Mengui. Ketika itu kerajaan-kerajaan di Bali menerapkan Hukum Tawan Karang, yakni jika terdapat kapal asing yang terdampar di perairan Bali, maka kapal tersebut menjadi hak milik raja Bali. Hukum adat Bali itu sangat merugikan kompeni Belanda mengingat tidak sedikit kapal Belanda yang terdampar di pantai Bali akhirnya harus disita raja Bali. Belanda kemudian mengadakan perjanjian dengan raja-raja Bali pada tahun 1839 untuk menghapuskan hukum Tawan Karang. Sebagai gantinya, Belanda bersedia membayar ganti rugi jika kapalnya terdampar. Sekalipun telah terikat dalam perjanjian, namun Belanda ternyata mengingkarinya. Jika kapal mereka terdampar, mereka meminta kapal untuk tidak disita dan juga tidak bersedia membayar ganti rugi. Akibat pengingkaran Belanda, raja-raja Bali kembali menerapkan Hukum Tawan Karang. Ketika kapal Belanda terdampar di pantai utara pulau Bali beberapa tahun kemudian, raja Buleleng serta merta menyita kapal tersebut. Penyitaan ini memicu peperangan antara Belanda dengan kerajaan Buleleng.
Pada tanggal 27 Juni 1846 Belanda melancarkan serangan ke Buleleng dengan dalih raja Buleleng menawan kapal Belanda. Serangan Belanda dihadapi dengan gagah berani rakyat kerajaan Buleleng di bawah pimpinan Rajanya serta Patih Agung Kerajaan Buleleng, I Gusti Ketut Jelantik. Kekuatan mereka semakin bertambah setelah kerajaan Karangasem turut bergabung bersama kerajaan Buleleng untuk menghadapi serangan Belanda.
Meskipun Belanda telah mengerahkan kemampuan perang besarnya dengan menerjunkan 1.700 pasukan daratnya, namun serangan pertama mereka berhasil dipatahkan rakyat Buleleng di bawah pimpinan I Gusti Ketut Jelantik. Dengan mendapat tambahan kekuatan perang, Belanda akhirnya berhasil mengalahkan Kerajaan Buleleng, Raja Buleleng dan Patih I Gusti Ketut Jelantik terpaksa menyingkir ke Jagaraga.
Pada tahun 1848 Belanda menyerang Jagaraga. I Gusti Ketut Jelantik terus mengobarkan perlawanan hingga Jagaraga menjadi medan peperangan yang sangat dahsyat. Dari Batavia, Belanda kemudian mendatangkan bala bantuan dalam jumlah yang sangat besar hingga akhirnya mereka berhasil menguasai Jagaraga sepenuhnya pada tanggal 16 April 1849.
Pasukan Belanda terus mengejar I Gusti Ketut Jelantik. Hingga akhirnya pada pertempuran di bukit Bale Pundak, Karangasem, Patih Agung kerajaan Buleleng tersebut gugur sebagai kusuma bangsa. Jasadnya dimakamkan di Karangasem, Bali.
Atas jerih payah perjuangan luar biasanya dalam menghadapi penjajah, Pemerintah Indonesia menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepada I Gusti Ketut Jelantik pada tahun 1993.