Tidak diragukan lagi, fitnah memang jauh lebih kejam dari pada pembunuhan. Oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) ia difitnah dengan melaporkan rencana-rencana ‘tertentu’ PKI kepada Presiden Sukarno. la kemudian menjadi sasaran serangan PKI melalui koran Harian yang menyebutnya sebagai antek CIA. Namun setelah meletus dan gagalnya Gerakan 30 September/PKI, ia dituduh terlibat dan disebut komunis oleh orang-orang yang anti komunis. Tidak hanya mendapat fitnah yang ‘unik’ tersebut, ia juga difitnah melakukan tindak korupsi 5 juta US dollar. Ia yang mendapat fitnah keji bertubi-tubi itu adalah Chaerul Saleh.
Chaerul Saleh dilahirkan di Sawah Lunto, Sumatera Barat, pada tanggal 13 September 1916. Ayahnya seorang dokter bernama Achmad Saleh dan ibunya Zubaidah binti Ahmad Marzuki. Semasa kecil Chaerul diasuh oleh Suleiman Rajo Mudo yang terhitung uwaknya di Lubuk Jantan. Usia 8 tahun Chaerul kembali bersatu dengan ayahnya dan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Setamat ELS, Chaerul bersekolah di HBS (Hoge Burgerlijke School) bagian I B di Medan. Agustus 1934 Chaerul pindah ke Jakarta dan meneruskan sekolah di Koning Willem Drie (KW III) yang sering disebut pula HBS 5 tahun. Tahun 1937 Chaerul melanjutkan pendidikannya ke Rechts School (Sekolah Tinggi Hukum).
Chaerul yang terkenal pemberani, militan, dan radikal itu bergabung dengan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) dan menjabat Sekretaris I serta akhirnya menjadi Ketua. Secara tegas Chaerul menyebutkan tujuan PPPI adalah Indonesia merdeka. Ketika Jepang masuk ke Indonesia, Chaerul ‘menyusup’ ke Jawatan Propaganda Jepang dan mendapat kedudukan sebagai penasehat (Sanyo).
Berbeda dengan tokoh-tokoh ‘tua’ Indonesia, Chaerul menghendaki Indonesia selekasnya mengumumkan kemerdekaannya sendiri. Kemerdekaan Indonesia adalah hak rakyat Indonesia sendiri dan tidak tergantung kepada siapapun juga. Oleh karena itu ketika Jepang menyatakan takluk kepada Sekutu, Chaerul bersama Adam Malik dan Sukarni serta pemuda-pemuda lain mendesak Sukarno-Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia setelah sebelumnya ‘menculik’ Dwi Tunggal itu ke Rengas Dengklok. Sukarno-Hatta pun akhirnya mengumandangkan proklamasi Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Ketika Belanda melancarkan agresi II, Chaerul Saleh keluar dari Yogyakarta dan kemudian melakukan perang gerilya di Sanggabuana, Jawa Barat bersama Laskar Rakyat. Sikapnya yang sangat militan dengan tidak bersedia berhubungan dengan Belanda dalam bentuk apapun membuat Laskar Rakyat pimpinannya harus berhadapan dengan pasukan Belanda (NICA), TNI, dan juga pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TIl) ketika dilangsungkannya Konferensi Meja Bundar (KMB).
Meski Chaerul kemudian berhasil menyelusup masuk ke Jakarta, ia ditangkap pihak berwajib karena pengkhianatan bekas anak buahnya. Chaerul ditahan di penjara Paledang (Bogor), kemudian dipindahkan ke berbagai rumah tahanan lainnya, seperti penjara Gang Tengah, Glodok, Banceuy (Bandung) sebelum akhirnya dipindahkan ke Nusa Kambangan (Cilacap - JawaTengah). Karena ‘campur tangan’ Mr. Mohammad Yamin yang menjabat Menteri Kehakiman, Chaerul dibebaskan dan kemudian dikirim ke Bern, Swiss, dengan dalih ‘tugas belajar’ selama 4 tahun (1952 - 1956). Akibat campur tangannya, Mr. Mohammad Yamin didepak dari jabatan Menteri Kehakiman. Di luar negeri Chaerul tetap berjuang dengan mendirikan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Bonn (Jerman Barat). Bulan Februari 1956 Chaerul kembali ke tanah air. Kepeduliannya pada nasib bekas anak buahnya (Laskar Rakyat) membuat Chaerul mengupayakan perbaikan nasib bagi mereka hingga akhirnya terbentuklah Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI). Chaerul Saleh kemudian diangkat menjadi Menteri Urusan Veteran pada tanggal 9 April 1957. Selain itu Chaerul dianugerahi pangkat Jenderal Kehormatan. Chaerul juga pernah diangkat menjadi Menteri Perindustrian dan Menko Pembangunan serta menjadi Wakil Perdana Menteri III pada tahun 1963. Chaerui pernah pula memangku jabatan Ketua Majelis Permusyawaratan Sementara (MPRS).
Ketika meletus pemberontakan G.30.S/PKI, Chaerul Saleh tengah berada di Beijing, Cina. Chaerul yang sangat anti komunis itu bertekad akan mengadakan perlawanan dari luar negeri (Thailand) jika PKI menang. Namun setelah didapat kabar PKI dapat digulung, Chaerul berencana pulang ke tanah air. Namun setibanya di Indonesia, Chaerul dimasukkan dalam daftar ‘hitam’ karena dicurigai terlibat Gerakan 30 September/PKI. Tuduhan selanjutnya yang dikenakan pada Chaerul adalah melakukan tindak korupsi 5 juta US Dollar pada proyek Petro Kimia di Gresik.
Chaerul Saleh dikenakan tahanan rumah (16 Maret 1966) dan selanjutnya ditahan di Rumah Tahanan Militer (RTM) di jalan Budi Utomo, Jakarta (16 April 1966), hingga akhirnya menghembuskan napas terakhirnya hari Rabu 8 Februari 1967. Jenazahnya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet, Jakarta.
Sepeninggalnya, Presiden Suharto menyatakan dalam surat bela sungkawanya, bahwa Chaerul Saleh tidak terlibat G.30.S/PKI namun yang masih perlu dijelaskan adalah pertanggungjawaban masalah ‘ekonomi’. Perkara ‘ekonomi’ itupun akhirnya ditutup oleh pemerintah pada tanggal 29 April 1967.
Chaerul yang terkenal pemberani, militan, dan radikal itu bergabung dengan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) dan menjabat Sekretaris I serta akhirnya menjadi Ketua. Secara tegas Chaerul menyebutkan tujuan PPPI adalah Indonesia merdeka. Ketika Jepang masuk ke Indonesia, Chaerul ‘menyusup’ ke Jawatan Propaganda Jepang dan mendapat kedudukan sebagai penasehat (Sanyo).
Berbeda dengan tokoh-tokoh ‘tua’ Indonesia, Chaerul menghendaki Indonesia selekasnya mengumumkan kemerdekaannya sendiri. Kemerdekaan Indonesia adalah hak rakyat Indonesia sendiri dan tidak tergantung kepada siapapun juga. Oleh karena itu ketika Jepang menyatakan takluk kepada Sekutu, Chaerul bersama Adam Malik dan Sukarni serta pemuda-pemuda lain mendesak Sukarno-Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia setelah sebelumnya ‘menculik’ Dwi Tunggal itu ke Rengas Dengklok. Sukarno-Hatta pun akhirnya mengumandangkan proklamasi Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Ketika Belanda melancarkan agresi II, Chaerul Saleh keluar dari Yogyakarta dan kemudian melakukan perang gerilya di Sanggabuana, Jawa Barat bersama Laskar Rakyat. Sikapnya yang sangat militan dengan tidak bersedia berhubungan dengan Belanda dalam bentuk apapun membuat Laskar Rakyat pimpinannya harus berhadapan dengan pasukan Belanda (NICA), TNI, dan juga pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TIl) ketika dilangsungkannya Konferensi Meja Bundar (KMB).
Meski Chaerul kemudian berhasil menyelusup masuk ke Jakarta, ia ditangkap pihak berwajib karena pengkhianatan bekas anak buahnya. Chaerul ditahan di penjara Paledang (Bogor), kemudian dipindahkan ke berbagai rumah tahanan lainnya, seperti penjara Gang Tengah, Glodok, Banceuy (Bandung) sebelum akhirnya dipindahkan ke Nusa Kambangan (Cilacap - JawaTengah). Karena ‘campur tangan’ Mr. Mohammad Yamin yang menjabat Menteri Kehakiman, Chaerul dibebaskan dan kemudian dikirim ke Bern, Swiss, dengan dalih ‘tugas belajar’ selama 4 tahun (1952 - 1956). Akibat campur tangannya, Mr. Mohammad Yamin didepak dari jabatan Menteri Kehakiman. Di luar negeri Chaerul tetap berjuang dengan mendirikan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Bonn (Jerman Barat). Bulan Februari 1956 Chaerul kembali ke tanah air. Kepeduliannya pada nasib bekas anak buahnya (Laskar Rakyat) membuat Chaerul mengupayakan perbaikan nasib bagi mereka hingga akhirnya terbentuklah Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI). Chaerul Saleh kemudian diangkat menjadi Menteri Urusan Veteran pada tanggal 9 April 1957. Selain itu Chaerul dianugerahi pangkat Jenderal Kehormatan. Chaerul juga pernah diangkat menjadi Menteri Perindustrian dan Menko Pembangunan serta menjadi Wakil Perdana Menteri III pada tahun 1963. Chaerui pernah pula memangku jabatan Ketua Majelis Permusyawaratan Sementara (MPRS).
Ketika meletus pemberontakan G.30.S/PKI, Chaerul Saleh tengah berada di Beijing, Cina. Chaerul yang sangat anti komunis itu bertekad akan mengadakan perlawanan dari luar negeri (Thailand) jika PKI menang. Namun setelah didapat kabar PKI dapat digulung, Chaerul berencana pulang ke tanah air. Namun setibanya di Indonesia, Chaerul dimasukkan dalam daftar ‘hitam’ karena dicurigai terlibat Gerakan 30 September/PKI. Tuduhan selanjutnya yang dikenakan pada Chaerul adalah melakukan tindak korupsi 5 juta US Dollar pada proyek Petro Kimia di Gresik.
Chaerul Saleh dikenakan tahanan rumah (16 Maret 1966) dan selanjutnya ditahan di Rumah Tahanan Militer (RTM) di jalan Budi Utomo, Jakarta (16 April 1966), hingga akhirnya menghembuskan napas terakhirnya hari Rabu 8 Februari 1967. Jenazahnya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet, Jakarta.
Sepeninggalnya, Presiden Suharto menyatakan dalam surat bela sungkawanya, bahwa Chaerul Saleh tidak terlibat G.30.S/PKI namun yang masih perlu dijelaskan adalah pertanggungjawaban masalah ‘ekonomi’. Perkara ‘ekonomi’ itupun akhirnya ditutup oleh pemerintah pada tanggal 29 April 1967.