Mr. Sjafruddin Prawiranegara lahir di Anyar, Banten pada 28 Februari 1911 dan meninggal di Jakarta pada 15 Februari 1989. Ia memiliki darah keturunan Sunda dan Minangkabau, karena buyutnya dari pihak ayah, Sutan Alam Intan, merupakan keturunan raja Pagaruyung di Sumatera Barat. Sutan Alam Intan ikut terlibat dalam Perang Padri hingga dibuang ke Banten dan menikah dengan putri bangsawan Banten
Sjafruddin menempuh pendidikan formal di ELS pada 1925, MULO di Madiun pada 1928, dan AMS di Bandung pada 1931. Pendidikan tingginya ia tempuh pada 1939 di Rechtshogeschool di Jakarta (Sekolah Tinggi Hukum, sekarang menjadi Fakultas Hukum UI) dan berhasil meraih gelar Meester in de Rechten (Mr.) atau sarjana dalam bidang hukum.
Saat menjadi mahasiswa Sjafruddin aktif dalam organisasi mahasiswa USI (Unitas Studiosorum Indonesiensis) yang aktivitasnya dalam bidang rekreasi dan kegiatan yang menunjang studi tanpa ikut campur dalam politik.
Pada masa sebelum kemerdekaan Sjafruddin bekerja sebagai pegawai siaran radio swasta pada 1939-1940, petugas di Departemen Keuangan Belanda pada 1940-1942, dan Departemen Keuangan pada zaman penjajahan Jepang. Pada masa awal revolusi kemerdekaan Sjafruddin menjadi Kepala Kantor Inspeksi Pajak di Bandung. Disamping itu ia sempat menjadi Sekertaris Komite Nasional Indonesia (KNI) daerah Priangan. Perdana Menteri waktu itu, Sutan Sjahrir kemudian memintanya pindah ke Jakarta untuk menjadi anggota Badan Pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat).
Sutan Sjahrir kemudian mengangkat Sjafruddin menjadi Menteri Muda Keuangan dalam kabinetnya yang kedua dan Menteri Keuangan dalam kabinetnya yang ketiga. Saat Mohammad Hatta menjadi Perdana Menteri, Syafruddin menjabat sebagai Menteri Kemakmuran dalam Kabinet Hatta yang pertama, kemudian menjadi Wakil Perdana Menteri dalam Kabinet Hatta yang kedua tahun 1949. Dalam bidang politik, Sjafruddin bergabung dengan partai Islam Masyumi.
PDRI
Pada saat terjadi Agresi Militer Belanda yang kedua pada Desember 1948, banyak pemimpin Indonesia yang ditangkap, seperti Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Agus Salim, dan yang lainnya. Namun Hatta sempat mengirim telegram kepada Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara, yang saat itu berada di Bukittinggi, untuk membentuk pemerintahan darurat di Sumatera.
Telegram itu tidak sampai ke Bukittinggi, tetapi berita tentang ibukota Negara yang sudah diduduki Belanda dan tertangkapnya para pimpinan negara sudah sampai melalui siaran radio. Sjafruddin kemudian menemui Teuku Muhammad Hassan dan berinisiatif untuk membentuk pemerintahan darurat untuk menyelamatkan Negara dari kekosongan pemerintahan. Maka terbentuklah Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dimana Sjafruddin menjabat sebagai ketuanya. Sjafruddin menyebut jabatannya sebagai “ketua” meski kedudukannya sama dengan presiden.
PDRI berjalan selama 207 hari sampai 13 Juli 1949 saat Sjafruddin menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno. Dengan adanya PDRI, yang melaksanakan politik diplomasi melalui radio, maka Belanda tidak bisa meyakinkan dunia bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada. Belanda terpaksa melakukan perundingan dengan pihak Indonesia.
Setelah pemerintahan Republik Indonesia kembali ke Soekarno, Sjafruddin diangkat menjadi Wakil Perdana Menteri, kemudian menjadi Menteri Keuangan. Pada Maret 1950, Sjafruddin sebagai Menteri Keuangan melakukan kebijakan pemotongan uang merah de Javasche Bank pecahan Rp. 5 keatas yang digunting menjadi dua. Potongan uang sebelah kiri masih berlaku dengan nilai setengahnya, sedangkan potongan sebelah kanan dipinjamkan kepada Negara. Pecahan Rp 2,50 dan di bawahnya tidak digunting, demikian pula uang ORI (Oeang Republik Indonesia) juga tidak digunting. Kebijakan yang banyak dikritik tersebut dikenal dengan nama “Gunting Sjafruddin”. Pada 1951 Sjafruddin diangkan menjadi Presiden Direktur De Javasche Bank yang kemudian berubah menjadi Bank Indonesia.
PRRI
Pada Februari 1958 Sjafruddin terlibat dalam gerakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) yang berbasis di Sumatera Tengah dan menjadi Perdana Menteri. PRRI merupakan bentuk protes terhadap pemerintahan Soekarno yang dianggap menyeleweng dari UUDS 1950, bukan bertujuan untuk menggulingkan kekuasaan Soekarno. Kemungkinan PRRI akan dibubarkan jika Presiden Soekarno membubarkan Kabinet Karya serta mengajak M Hatta dan Sultan Hamengkubuwono untuk membentuk kabinet yang mendapat kepercayaan dari dewan-dewan di daerah.
PRRI kemudian dianggap Soekarno sebagai gerakan pemberontakan atau separatis. Akibatnya, Sjafruddin serta beberapa tokoh Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang terlibat ditangkap dan dianggap kontra revolusi. Kedua partai itu kemudian dibubarkan Soekarno. Pada awal tahun 1962 Sjafruddin dan yang lainnya dibawa ke Cipayung, Bogor. Mereka dibiarkan bebas bergerak tetapi dilarang meninggalkan kota itu tanpa izin.
Setelah keluar dari tahanan Orde Lama, Sjafruddin mengisi aktifitasnya dalam bidang dakwah. Tetapi ia tetap kritis terhadap pemerintah. Bersama tokoh-tokoh lain seperti M. Natsir, Ali Sadikin, AH Nasution, ia ikut menandatangani Petisi 50 sebagai protes terhadap pemerintahan Soeharto. Akibatnya ia selalu mendapat pengawasan dari intelijen Negara. Bahkan berkali-kali ia pernah dilarang naik mimbar untuk ceramah.
Sjafruddin meninggal pada tanggal 15 Februari 1989, 13 hari sebelum ulang tahunnya yang ke-78. Ia dimakamkan di Tanah Kusir Jakarta Selatan. Pada tahun 2011 pemerintah memberinya penghargaan sebagai Pahlawan Nasional.