Iwa Kusuma Sumantri merupakan rektor Universitas Padjadjaran (Unpad) yang pertama dan menjadi salah tokoh yang berperan dalam proses kemerdekaan Indonesia. Beliau yang mengusulkan pemakaian nama “Proklamasi” dalam naskah kemerdekaan Indonesia yang dibacakan pada 17 Agustus 1945. Sebelumnya Soekarno menamai naskah itu dengan kata “Maklumat”.
Iwa lahir pada 30 Mei 1899 di Ciamis, Jawa Barat. Ayahnya bernama Raden Wiramantri, seorang Kepala Sekolah Rendah di Ciamis yang kemudian menjadi penilik sekolah (School Opziener). Sebagai keturunan menak, Iwa bisa bersekolah mulai dari Eerste Klasse School (Sekolah Kelas Satu) pada 1910 di Ciamis, serta di HIS (Hollandsch Inlandsche School), sekolah dasar untuk anak-anak pribumi yang menggunakan pengantar Bahasa Belanda. Iwa sempat masuk OSVIA (Opleidingschool Voor Inlandsche Ambtenaren) selama setahun pada 1915, tetapi keluar untuk melanjutkan ke sekolah menengah hukum (Recht School) di Batavia. Pada tahun 1922 Iwa melanjutkan pendidikan ke Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda setelah sebelumnya sempat bekerja di kantor pengadilan negeri di Bandung, Surabaya, serta Jakarta.
Ketika di Belanda Iwa aktif di Indische Vereeniging, organisasi yang kemudian berubah menjadi Indonesische Vereeniging, dan berubah lagi menjadi Perhimpunan Indonesia. Iwa sempat menjadi ketua di organisasi itu pada 1923-1924. Setelah lulus dari Universitas Leiden pada 1925, Iwa bersama Semaun ditugaskan oleh organisasinya, yang saat itu dipimpin oleh Boedyarto dan Mohammad Hatta, untuk berangkat ke Rusia. Dia berada di Rusia selama 1,5 tahun, untuk mempelajari program Front Persatuan (Eenheidsfront), yaitu bagaimana merapatkan barisan secara internasional melawan penjajahan.
Kepergiannya ke Rusia membuat keluarganya khawatir dia akan terpengaruh komunisme. Selain itu juga berdampak pada kehidupan pribadinya. Hubungan pernikahan gantungnya dengan Emma Puradireja yang sudah berjalan sebelum dia berangkat ke Belanda pun kandas di tengah jalan. Iwa kemudian terpaut hatinya kepada gadis Rusia bernama Anna Ivanova, kemudian menikahinya dan mempunyai seorang anak perempuan. Selama di Rusia Iwa sempat menulis sebuah buku tentang petani di Indonesia, berjudul The Peasant Movement in Indonesia.
***
Pada tahun 1927 Iwa kembali ke Indonesia. Kebijakan pemerintah setempat yang melarang warganya ke luar negeri tanpa alas an kuat membuat Iwa terpaksa meninggalkan anak dan istrinya. Bertahun-tahun kemudian Iwa menikah lagi dengan Kuraesin Argawinata, seorang putri kerabatnya yang menetap di rumah pamannya, Dr Abdul Manap.
Setelah kembali ke tanah air Iwa sempat bekerja di Bandung kemudian pindah ke Medan untuk membuka kantor pengacara. Di Medan Iwa tetap aktif dalam pergerakan. Dia banyak membela kepentingan rakyat yang tertindas, terutama buruh perkebunan Deli yang terkena poenale sanctie, yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada para buruh yang dianggap melanggar kontrak kerja. Iwa juga mempimpin surat kabar Matahari Indonesia, dan sering mengkritik pemerintah colonial melalui tulisan-tulisannya.
Pada 1929 Iwa ditangkap dan dipenjara selama setahun, kemudian dibuang ke Banda Neira, Maluku selama sepuluh tahun karena dianggap memiliki afiliasi dengan Moscow dan Komintern. Selanjutnya Iwa dipindahkan ke Makasar pada 1941. Selama di Banda Neira, Iwa mempelajari bahasa Arab dan memperdalam ilmu agama Islam dan menulis buku berjudul Nabi Muhammad dan Empat Khalifah.
Saat Jepang datang Iwa diminta menjadi pembantu Wali Kota Makassar kemudian diangkat menjadi Kepala Pengadilan Makassar. Iwa bersama istri dan anak-anaknya kemudian kembali ke daerah asalnya, Ciamis. Tak lama kemudian Iwa pergi ke Jakarta dan bekerja menjadi advocat bersama Mr A.A. Maramis. Dia juga membantu kantor Riset Kaigun (Angkatan Laut Jepang) cabang Jakarta yang dipimpin Ahmad Subarjo dan mengajar Hukum Internasional kepada para pemuda di Asrama Indonesia Merdeka. Selanjutnya bersama tokoh lain Iwa diangkat menjadi anggota Panitia persiapan Kemerdekaan Indonesia.
***
Setelah Indonesia Merdeka Iwa diangkat menjadi Mentri Sosial dan Perburuhan. Namun karena tak sejalan dengan politik pemerintah waktu itu dan terlibat dalam peristiwa 3 Juli 1946, Iwa bersama tokoh-tokoh lain seperti Tan Malaka, Mohammad Yamin, dan yang lainnya ditangkap dan ditahan selama satu setengah tahun. Namun akhirnya mereka diberi grasi oleh presiden dan direhabilitasi namanya karena tidak terbukti bersalah.
Pada tahun 1949 Iwa bergabung dengan Partai Murba yang didirikan oleh Tan Malaka. Partai Murba yang menyokongnya hingga ia menjadi Menteri Pertahanan pada masa Kabinet Ali Wongso-Arifin pada 1953. Kabinet ini selesai pada tahun 1955, kemudian Iwa pulang kampung dan aktif di Badan Musyawarah Sunda. Dia juga menjadi rektor pertama Unpad dan diangkat menjadi Menteri Negara sampai tahun 1966.
Pada 27 September 1971 beliau meninggal dunia setelah beberapa waktu dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo karena menderita penyakit jantung.