Di kota-kota besar, kita bisa menemukan studio foto menjamur di segala penjuru kota. Namun di Tarakan, sebuah kota kecil di Kalimantan Timur, studio foto adalah barang langka. Pernah merasakan berat dan pahitnya kegagalan bisnis, Hamka Alwi berguru dari Darwis Triadi, fotografer ternama itu, dan sukses membangun jaringan studio foto yang bermula dari Tarakan.
Hamka Alwi, pemuda kelahiran Toli-Toli, 14 Maret 1981, memiliki masa kecil yang pahit. Ayahnya yang hanya buruh angkut ikan sering memaksa Hamka untuk tidak sekolah demi membantunya, la terpaksa bekerja dari dini hari ditambah berkeliling jualan ikan pulang sekolah demi bisa belajar di sekolah. Orang tuanya sempat bangga karena Hamka berprestasi. Salah satunya lolos seleksi Jambore Nasional tahun 1996. Tapi kebanggaan itu tidak berlangsung lama. Saat ia remaja, orang tuanya kembali memaksa Hamka untuk kembali bekerja, yang membuatnya terpaksa keluar dari rumah. Semua pekerjaan telah dilakukannya demi menyambung hidup. Sebut saja menjadi kuli panggul di pelabuhan, menarik gerobak, melaut, menjual kue keliling, pemulung, menyewakan VCD dan PlayStation, dan sebagainya.
la memiliki ketertarikan di bidang seni dan komputer, serta memiliki tekad kuat untuk belajar secara otodidak. Salah satunya saat ia berbisnis editing foto usang agar bisa tampak indah kembali dengan berbekal komputer pinjaman. Bisnis ini menjadi modalnya untuk kuliah D2 di jurusan manajemen informatika. Pada 2002, ia pernah menjadi asisten di salah satu pusat kursus komputer di Tarakan. Di sana ia bekerja sekaligus belajar animasi dan video, sehingga Hamka membuka jasa itu juga.
Merasa memiliki modal kemampuan, Hamka memberanikan diri membuka studio kecil untuk liputan pernikahan bernama Azka Home Editing. Modalnya hanya Rp. 70 ribu untuk membuat kartu nama, padahal ia belum punya kamera. Begitu dapat order dokumentasi foto suatu pernikahan, ia bingung karena tidak punya kamera. Beruntung, ia dipinjami kamera oleh tetangganya.
Sayang, bisnis kecil ini dirundung kemalangan. Ketidakpahaman dia terhadap kamera membuat ia membuka begitu saja ruang roll film di kamera. Seluruh foto pernikahan di kamera tersebut terbakar. Bayangkan perasaan dan kemarahan kliennya tersebut karena momen sekali seumur hidupnya hancur. Reputasinya remuk berkeping-keping, tidak ada lagi yang mau meminta order kepadanya. Hamka terpuruk dan merasa sangat down.
Saat mencari cara untuk bangkit,. ia melihat Darwis Triadi, sang fotografer profesional itu, membuka Triadi School of Photography di Jakarta, la mau memperbaiki reputasinya dan belajar dari sang ahli. Sang kakak sampai menggadaikan perhiasannya agar ia bisa ke Jakarta untuk berguru pada Darwis Triadi. Belajar dalam kondisi serba terbatas membuat Hamka memaksimalkan dirinya. Gelar Terbaik 'I Learn from The Best Darwis Triadi School of Photography 2006' ia dapatkan setelah selesai belajar, la kembali optimis saat kembali ke Tarakan, karena keterampilannya jauh bertambah dari segi teknis maupun estetis. Setelah itu, order demi order kembali ia dapatkan karena orang-orang sudah kembali percaya kepadanya.
Setelah ia membuka studio di Mall Grand Tarakan, hanya dalam waktu 1 tahun, ia terus kebanjiran order. Semua keuntungan dikembalikan untuk pengembangan bisnisnya. Sehingga studionya menjadi studio foto terlengkap di daerah utara Kalimantan Timur ini.
Hanya berawal dari modal Rp70 ribu, Hamka berhasil mengembangkan berbagai bisnis di bidang fotografi seperti Master Bornis Studio, Bornis Studio, Bornis School, dan Bornis Digital Image Service di bawah Republik Bornis Manajemen.
Tahun 2010 saja ia sudah memiliki 12 gerai di utara Kaltim : empat di Tarakan, dua di Nunukan dan Tanjung Selor, satu di Berau, serta di KTT dan Malinau Dengan total 48 orang karyawan, nama Hamka semakin berkibar, terutama sejak menjadi finalis Wirausaha Muda Mandiri tahun 2009. Tahun 2011, ia resmi mengembangkan usahanya dalam bentuk franchise di Kota Bontang, Kalimantan Timur.
Tips dan Quote
Hamka Alwi, pemuda kelahiran Toli-Toli, 14 Maret 1981, memiliki masa kecil yang pahit. Ayahnya yang hanya buruh angkut ikan sering memaksa Hamka untuk tidak sekolah demi membantunya, la terpaksa bekerja dari dini hari ditambah berkeliling jualan ikan pulang sekolah demi bisa belajar di sekolah. Orang tuanya sempat bangga karena Hamka berprestasi. Salah satunya lolos seleksi Jambore Nasional tahun 1996. Tapi kebanggaan itu tidak berlangsung lama. Saat ia remaja, orang tuanya kembali memaksa Hamka untuk kembali bekerja, yang membuatnya terpaksa keluar dari rumah. Semua pekerjaan telah dilakukannya demi menyambung hidup. Sebut saja menjadi kuli panggul di pelabuhan, menarik gerobak, melaut, menjual kue keliling, pemulung, menyewakan VCD dan PlayStation, dan sebagainya.
la memiliki ketertarikan di bidang seni dan komputer, serta memiliki tekad kuat untuk belajar secara otodidak. Salah satunya saat ia berbisnis editing foto usang agar bisa tampak indah kembali dengan berbekal komputer pinjaman. Bisnis ini menjadi modalnya untuk kuliah D2 di jurusan manajemen informatika. Pada 2002, ia pernah menjadi asisten di salah satu pusat kursus komputer di Tarakan. Di sana ia bekerja sekaligus belajar animasi dan video, sehingga Hamka membuka jasa itu juga.
Merasa memiliki modal kemampuan, Hamka memberanikan diri membuka studio kecil untuk liputan pernikahan bernama Azka Home Editing. Modalnya hanya Rp. 70 ribu untuk membuat kartu nama, padahal ia belum punya kamera. Begitu dapat order dokumentasi foto suatu pernikahan, ia bingung karena tidak punya kamera. Beruntung, ia dipinjami kamera oleh tetangganya.
Sayang, bisnis kecil ini dirundung kemalangan. Ketidakpahaman dia terhadap kamera membuat ia membuka begitu saja ruang roll film di kamera. Seluruh foto pernikahan di kamera tersebut terbakar. Bayangkan perasaan dan kemarahan kliennya tersebut karena momen sekali seumur hidupnya hancur. Reputasinya remuk berkeping-keping, tidak ada lagi yang mau meminta order kepadanya. Hamka terpuruk dan merasa sangat down.
Saat mencari cara untuk bangkit,. ia melihat Darwis Triadi, sang fotografer profesional itu, membuka Triadi School of Photography di Jakarta, la mau memperbaiki reputasinya dan belajar dari sang ahli. Sang kakak sampai menggadaikan perhiasannya agar ia bisa ke Jakarta untuk berguru pada Darwis Triadi. Belajar dalam kondisi serba terbatas membuat Hamka memaksimalkan dirinya. Gelar Terbaik 'I Learn from The Best Darwis Triadi School of Photography 2006' ia dapatkan setelah selesai belajar, la kembali optimis saat kembali ke Tarakan, karena keterampilannya jauh bertambah dari segi teknis maupun estetis. Setelah itu, order demi order kembali ia dapatkan karena orang-orang sudah kembali percaya kepadanya.
Setelah ia membuka studio di Mall Grand Tarakan, hanya dalam waktu 1 tahun, ia terus kebanjiran order. Semua keuntungan dikembalikan untuk pengembangan bisnisnya. Sehingga studionya menjadi studio foto terlengkap di daerah utara Kalimantan Timur ini.
Hanya berawal dari modal Rp70 ribu, Hamka berhasil mengembangkan berbagai bisnis di bidang fotografi seperti Master Bornis Studio, Bornis Studio, Bornis School, dan Bornis Digital Image Service di bawah Republik Bornis Manajemen.
Tahun 2010 saja ia sudah memiliki 12 gerai di utara Kaltim : empat di Tarakan, dua di Nunukan dan Tanjung Selor, satu di Berau, serta di KTT dan Malinau Dengan total 48 orang karyawan, nama Hamka semakin berkibar, terutama sejak menjadi finalis Wirausaha Muda Mandiri tahun 2009. Tahun 2011, ia resmi mengembangkan usahanya dalam bentuk franchise di Kota Bontang, Kalimantan Timur.
Tips dan Quote
- Jatuh? Bangkit! Jatuh lagi? Bangkit lagi!
- Miliki mentor yang akan membimbing kamu baik dari segi teknis maupun bisnis, seperti Hamka yang berguru pada Darwis Triadi