Menyimak kisah Sa’id, akan terasa lebih lengkap jika dimulai dari kisah hidup sang ayah. Namanya Zaid bin Amru bin Naufal Al-Adawy. Seorang ayah yang hidup dalam pencarian kebenaran. Selama ini Zaid bin Amru tidak pernah menyembah berhala seperti yang dilakukan masyarakat Mekkah. Dia merasa itu sudah melenceng dari ajaran Nabi Ibrahim. Dia bahkan menganggap memuja berhala sebagai sebuah kesesatan.
Zaid juga menolak pembunuhan terhadap bayi perempuan. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Mekkah ketika mereka mendapat bayi perempuan mereka akan mengubur hidup-hidup. Zaid menilai itu perbuatan tercela, la pun menyelamatkan bayi-bayi malang itu. Jika perlu, dia akan membeli bayi itu dari orangtuanya. Membesarkannya dan mencukupi kebutuhan si anak sampai besar.
Suatu hari di Mekkah, dilaksanakan pesta memperingati hari besar. Para lelaki memakai kain yang bagus. Kaum wanitanya juga memakai pakaian dan perhiasan terbaik yang mereka punya. Bahkan hewan-hewan yang akan dikorbankan untuk berhala pun mereka beri hiasan. Setelah itu mereka menyeret hewan-hewan itu ke hadapan berhala.
Zaid saat itu tidak ikut-ikutan. Dia malah menyingkir dan berdiri menyandar di salah satu dinding Ka’bah. “Wahai kaum Quraisy! Hewan itu diciptakan oleh Allah. Dialah yang menurunkan hujan dari langit supaya hewan-hewan itu minum sepuas-puasnya. Dialah yang menumbuhkan rumput-rumputan supaya hewan-hewan itu bisa makan sekenyang-kenyangnya. Lalu sekarang kalian menyembelih hewan-hewan itu untuk persembahan berhala. Sungguh yang kalian lakukan itu sungguh sesat, sungguh bodoh,” gumamnya penuh kesedihan.
Ternyata kata-katanya itu terdengar oleh Khattab atau ayah dari Umar bin Khattab. “Berhentilah Zaid. Sudah sering kami mendengar kata-kata celaanmu itu. Kami selama ini membiarkanmu saja. Kini kesabaran kami sudah habis!”
Al-Khattab lalu menghasut orang-orang musyrik untuk memusuhi Zaid. Tidak berhenti sampai memusuhi, dia juga mengajak agar kaum Quraisy menyakiti Zaid. la bahkan mengutus mata-mata yang membatasi gerak Zaid. Melihat kondisi itu. Zaid pun menyingkir ke gua Hira, dan menemui keluarganya dengan cara sembunyi-sembunyi.
Suatu malam, Zaid menemui tiga temannya, antara lain Waraqah bin Naufal, Abdullah bin Jahsy, dan Ustman bin Harist. Mereka membicarakan kondisi masyarakat Mekkah yang sudah mulai melenceng dari agama Ibrahim. Zaid pun mengajak dan menyemangati teman-temannya untuk mencari agama yang mendekati kebenaran.
Waraqah bin Naufal mempelajari agama Nasrani dan menjadi pemeluk yang taat Sedang Abdullah bin Jahsy dan Ustman bin Harist tidak mendapatkan apa-apa. Mereka kembali ke Mekkah dengan tangan kosong. Zaid mempelajari agama Yahudi dan Nasrani tapi hatinya tidak bisa menerima. Akhirnya dia berkelana sampai bertemu dengan seorang rahib.
“Aku tahu engkau sedang mencari agama Ibrahim, wahai Putra Mekkah,” ujar Rahib itu saat bertemu Zaid, ‘Ketahuilah bahwa sekarang agama yang Anda cari hampir tidak ada.”
Zaid terlihat sedih. Namun kata-kata berikutnya dari sang rahib membuat semangatnya muncul lagi. ‘Kembalilah engkau ke Mekkah. Kelak Allah akan membangkitkan Nabi dari bangsamu. Dia datang untuk menyempurnakan agama Ibrahim.”
Zaid memutuskan kembali ke Mekkah. Di tengah jalan, dia dihadang oleh rombongan perampok. Dia pun terluka dan menjelang ajalnya dia berdoa, “Ya Allah... jika engkau haramkan aku dari agama yang lurus ini, janganlah engkau haramkan anakku Sa’id dari agama ini.”
Doa itu terkabul, Sa’id anak Zaid pun menerima kebenaran tanpa keraguan sedikit pun. Dia masuk Islam saat usianya baru 20 tahun, bersama istrinya Fathimah binti Khattab. Mereka berdualah yang menjadi jalan masuknya pahlawan besar Umar bin Khattab ke dalam barisan Islam. Keteguhan mereka dan kebeningan iman mereka membuat Umar yang datang dalam kondisi marah justru ingin mendengar Al-Qur'an. Subhanallah.
Sa'id membuktikan keimanannya dengan mengikuti hijrah baik ke Habasyah maupun ke Madinah. Dia juga mengikuti semua peperangan bersama Rasulullah. Hanya saat perang Badar saja dia tidak ikut serta karena bersama Thalhah bin Ubaidillah ra., mendapat tugas mengintai kafilah dagang kaum Quraisy di laut Merah. Ketika Sa'id pulang dari tugas, kebetulan Rasulullah dan para sahabat pun baru pulang dari medan Badar. Rasa sedih itulah yang membuat Sa'id tidak melewatkan peperangan lain semasa bersama Rasulullah.
Pada zaman Khalifah Umar bin Khattab, Sa'id bin Zaid mengikuti perang Yarmuk yang menumbangkan kekuasaan Romawi. Sa'id juga turut serta dalam perang melawan kekuatan Persia. Dirinya juga ada saat tentara islam menguasai kota Damsyik. Oleh panglima perang yang bertugas Abu Ubaidillah bin Jarrah, Sa'id diminta menjadi wali kota itu.
Di masa tuanya, Sa'id kembali ke kota Madinah. Saat itu Marwan bin Hakam menjabat sebagai gubernur Madinah. Suatu hari seorang wanita bernama Arwa binti Uwais menuduhnya sudah mengambil tanah yang bukan haknya. Tanah keduanya memang berbatasan, dan Arwa menuduh Sa'id mengambil tanahnya hingga tanahnya jadi berkurang.
Gubernur memanggil Sa’id untuk mengonfirmasi tuduhan Arwa. Sa'id hanya berujar, “Dia menuduhku menzaliminya (merampas tanahnya yang berbatasan dengan tanahku), bagaimana mungkin aku akan menzaliminya, padahal aku telah mendengar Rasulullah saw., bersabda, ‘Siapa yang mengambil tanah orang lain walau hanya sejengkal, nanti di hari kiamat Allah akan memikulkan tujuh lapis bumi di atas lehernya.”
Sa'id pun berdoa meminta Allah menunjukkan bukti bahwa tuduhan itu bohong belaka. “Jika tuduhan itu fitnah, maka Allah akan menjadikan matanya buta dan dia jatuh ke dalam sumur."
Tak berapa lama terjadi banjir yang amat besar di Madinah. Maka terbukalah batas-batas tanah yang selama ini tertutup. Ternyata, apa yang dituduhkan tidak benar. Tak berapa lama mata Arwa binti Uwais menjadi buta dan seperti perkataan Sa'id, wanita itu terjatuh ke dalam sumur yang pernah dia sengketakan dengan Sa'id.
Hal ini bukan berarti Sa'id adalah seorang yang pendendam hingga dia berdoa sebuah keburukan. Namun menunjukkan bahwa seorang muslim harusnya bisa menjaga lisannya dari memfitnah muslim yang lain. Perkataan Sa'id yang terwujud juga menunjukkan kualitas dirinya di hadapan Allah Swt. Karena selain sebagai seorang pejuang, Said juga terkenal sebagai ahli ibadah dan selalu lurus dalam keimanan.
Sa'id kembali ke pangkuan Ilahi saat usianya mencapai 73 tahun di Madinah. Dirinya dimakankan bersama sahabat-sahabat lain di pemakaman Baqi.
Zaid juga menolak pembunuhan terhadap bayi perempuan. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Mekkah ketika mereka mendapat bayi perempuan mereka akan mengubur hidup-hidup. Zaid menilai itu perbuatan tercela, la pun menyelamatkan bayi-bayi malang itu. Jika perlu, dia akan membeli bayi itu dari orangtuanya. Membesarkannya dan mencukupi kebutuhan si anak sampai besar.
Suatu hari di Mekkah, dilaksanakan pesta memperingati hari besar. Para lelaki memakai kain yang bagus. Kaum wanitanya juga memakai pakaian dan perhiasan terbaik yang mereka punya. Bahkan hewan-hewan yang akan dikorbankan untuk berhala pun mereka beri hiasan. Setelah itu mereka menyeret hewan-hewan itu ke hadapan berhala.
Zaid saat itu tidak ikut-ikutan. Dia malah menyingkir dan berdiri menyandar di salah satu dinding Ka’bah. “Wahai kaum Quraisy! Hewan itu diciptakan oleh Allah. Dialah yang menurunkan hujan dari langit supaya hewan-hewan itu minum sepuas-puasnya. Dialah yang menumbuhkan rumput-rumputan supaya hewan-hewan itu bisa makan sekenyang-kenyangnya. Lalu sekarang kalian menyembelih hewan-hewan itu untuk persembahan berhala. Sungguh yang kalian lakukan itu sungguh sesat, sungguh bodoh,” gumamnya penuh kesedihan.
Ternyata kata-katanya itu terdengar oleh Khattab atau ayah dari Umar bin Khattab. “Berhentilah Zaid. Sudah sering kami mendengar kata-kata celaanmu itu. Kami selama ini membiarkanmu saja. Kini kesabaran kami sudah habis!”
Al-Khattab lalu menghasut orang-orang musyrik untuk memusuhi Zaid. Tidak berhenti sampai memusuhi, dia juga mengajak agar kaum Quraisy menyakiti Zaid. la bahkan mengutus mata-mata yang membatasi gerak Zaid. Melihat kondisi itu. Zaid pun menyingkir ke gua Hira, dan menemui keluarganya dengan cara sembunyi-sembunyi.
Suatu malam, Zaid menemui tiga temannya, antara lain Waraqah bin Naufal, Abdullah bin Jahsy, dan Ustman bin Harist. Mereka membicarakan kondisi masyarakat Mekkah yang sudah mulai melenceng dari agama Ibrahim. Zaid pun mengajak dan menyemangati teman-temannya untuk mencari agama yang mendekati kebenaran.
Waraqah bin Naufal mempelajari agama Nasrani dan menjadi pemeluk yang taat Sedang Abdullah bin Jahsy dan Ustman bin Harist tidak mendapatkan apa-apa. Mereka kembali ke Mekkah dengan tangan kosong. Zaid mempelajari agama Yahudi dan Nasrani tapi hatinya tidak bisa menerima. Akhirnya dia berkelana sampai bertemu dengan seorang rahib.
“Aku tahu engkau sedang mencari agama Ibrahim, wahai Putra Mekkah,” ujar Rahib itu saat bertemu Zaid, ‘Ketahuilah bahwa sekarang agama yang Anda cari hampir tidak ada.”
Zaid terlihat sedih. Namun kata-kata berikutnya dari sang rahib membuat semangatnya muncul lagi. ‘Kembalilah engkau ke Mekkah. Kelak Allah akan membangkitkan Nabi dari bangsamu. Dia datang untuk menyempurnakan agama Ibrahim.”
Zaid memutuskan kembali ke Mekkah. Di tengah jalan, dia dihadang oleh rombongan perampok. Dia pun terluka dan menjelang ajalnya dia berdoa, “Ya Allah... jika engkau haramkan aku dari agama yang lurus ini, janganlah engkau haramkan anakku Sa’id dari agama ini.”
Doa itu terkabul, Sa’id anak Zaid pun menerima kebenaran tanpa keraguan sedikit pun. Dia masuk Islam saat usianya baru 20 tahun, bersama istrinya Fathimah binti Khattab. Mereka berdualah yang menjadi jalan masuknya pahlawan besar Umar bin Khattab ke dalam barisan Islam. Keteguhan mereka dan kebeningan iman mereka membuat Umar yang datang dalam kondisi marah justru ingin mendengar Al-Qur'an. Subhanallah.
Sa'id membuktikan keimanannya dengan mengikuti hijrah baik ke Habasyah maupun ke Madinah. Dia juga mengikuti semua peperangan bersama Rasulullah. Hanya saat perang Badar saja dia tidak ikut serta karena bersama Thalhah bin Ubaidillah ra., mendapat tugas mengintai kafilah dagang kaum Quraisy di laut Merah. Ketika Sa'id pulang dari tugas, kebetulan Rasulullah dan para sahabat pun baru pulang dari medan Badar. Rasa sedih itulah yang membuat Sa'id tidak melewatkan peperangan lain semasa bersama Rasulullah.
Pada zaman Khalifah Umar bin Khattab, Sa'id bin Zaid mengikuti perang Yarmuk yang menumbangkan kekuasaan Romawi. Sa'id juga turut serta dalam perang melawan kekuatan Persia. Dirinya juga ada saat tentara islam menguasai kota Damsyik. Oleh panglima perang yang bertugas Abu Ubaidillah bin Jarrah, Sa'id diminta menjadi wali kota itu.
Di masa tuanya, Sa'id kembali ke kota Madinah. Saat itu Marwan bin Hakam menjabat sebagai gubernur Madinah. Suatu hari seorang wanita bernama Arwa binti Uwais menuduhnya sudah mengambil tanah yang bukan haknya. Tanah keduanya memang berbatasan, dan Arwa menuduh Sa'id mengambil tanahnya hingga tanahnya jadi berkurang.
Gubernur memanggil Sa’id untuk mengonfirmasi tuduhan Arwa. Sa'id hanya berujar, “Dia menuduhku menzaliminya (merampas tanahnya yang berbatasan dengan tanahku), bagaimana mungkin aku akan menzaliminya, padahal aku telah mendengar Rasulullah saw., bersabda, ‘Siapa yang mengambil tanah orang lain walau hanya sejengkal, nanti di hari kiamat Allah akan memikulkan tujuh lapis bumi di atas lehernya.”
Sa'id pun berdoa meminta Allah menunjukkan bukti bahwa tuduhan itu bohong belaka. “Jika tuduhan itu fitnah, maka Allah akan menjadikan matanya buta dan dia jatuh ke dalam sumur."
Tak berapa lama terjadi banjir yang amat besar di Madinah. Maka terbukalah batas-batas tanah yang selama ini tertutup. Ternyata, apa yang dituduhkan tidak benar. Tak berapa lama mata Arwa binti Uwais menjadi buta dan seperti perkataan Sa'id, wanita itu terjatuh ke dalam sumur yang pernah dia sengketakan dengan Sa'id.
Hal ini bukan berarti Sa'id adalah seorang yang pendendam hingga dia berdoa sebuah keburukan. Namun menunjukkan bahwa seorang muslim harusnya bisa menjaga lisannya dari memfitnah muslim yang lain. Perkataan Sa'id yang terwujud juga menunjukkan kualitas dirinya di hadapan Allah Swt. Karena selain sebagai seorang pejuang, Said juga terkenal sebagai ahli ibadah dan selalu lurus dalam keimanan.
Sa'id kembali ke pangkuan Ilahi saat usianya mencapai 73 tahun di Madinah. Dirinya dimakankan bersama sahabat-sahabat lain di pemakaman Baqi.