Sa’id bin Zaid ra. : Jalan Masuk Umar Bin Khattab Menuju Islam

Selamat Datang di Blog Materi IPA. Judul Postingan Kali ini tentang Sa’id bin Zaid ra. : Jalan Masuk Umar Bin Khattab Menuju Islam. Semoga bermanfaat untuk dibaca.
Menyimak kisah Sa’id, akan terasa lebih lengkap jika dimulai dari kisah hidup sang ayah. Namanya Zaid bin Amru bin Naufal Al-Adawy. Seorang ayah yang hidup dalam pencarian kebenaran. Selama ini Zaid bin Amru tidak per­nah menyembah berhala seperti yang dilakukan masyara­kat Mekkah. Dia merasa itu sudah melenceng dari ajaran Nabi Ibrahim. Dia bahkan menganggap memuja berhala sebagai sebuah kesesatan.

Zaid juga menolak pembunuhan terhadap bayi perem­puan. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Mekkah ketika mereka mendapat bayi perempuan mereka akan mengubur hidup-hidup. Zaid menilai itu perbuatan tercela, la pun menye­lamatkan bayi-bayi malang itu. Jika perlu, dia akan membeli bayi itu dari orangtuanya. Membesarkannya dan mencukupi kebutuhan si anak sampai besar.

Suatu hari di Mekkah, dilaksanakan pesta memperingati hari besar. Para lelaki memakai kain yang bagus. Kaum wanita­nya juga memakai pakaian dan perhiasan terbaik yang mereka punya. Bahkan hewan-hewan yang akan dikorbankan untuk berhala pun mereka beri hiasan. Setelah itu mereka menyeret hewan-hewan itu ke hadapan berhala.

Zaid saat itu tidak ikut-ikutan. Dia malah menyingkir dan berdiri menyandar di salah satu dinding Ka’bah. “Wahai kaum Quraisy! Hewan itu diciptakan oleh Allah. Dialah yang menu­runkan hujan dari langit supaya hewan-hewan itu minum se­puas-puasnya. Dialah yang menumbuhkan rumput-rumputan supaya hewan-hewan itu bisa makan sekenyang-kenyangnya. Lalu sekarang kalian menyembelih hewan-hewan itu untuk persembahan berhala. Sungguh yang kalian lakukan itu sung­guh sesat, sungguh bodoh,” gumamnya penuh kesedihan.

Ternyata kata-katanya itu terdengar oleh Khattab atau ayah dari Umar bin Khattab. “Berhentilah Zaid. Sudah sering kami mendengar kata-kata celaanmu itu. Kami selama ini membiar­kanmu saja. Kini kesabaran kami sudah habis!”

Al-Khattab lalu menghasut orang-orang musyrik untuk memusuhi Zaid. Tidak berhenti sampai memusuhi, dia juga mengajak agar kaum Quraisy menyakiti Zaid. la bahkan meng­utus mata-mata yang membatasi gerak Zaid. Melihat kondisi itu. Zaid pun menyingkir ke gua Hira, dan menemui keluarga­nya dengan cara sembunyi-sembunyi.

Suatu malam, Zaid menemui tiga temannya, antara lain Waraqah bin Naufal, Abdullah bin Jahsy, dan Ustman bin Harist. Mereka membicarakan kondisi masyarakat Mekkah yang sudah mulai melenceng dari agama Ibrahim. Zaid pun meng­ajak dan menyemangati teman-temannya untuk mencari aga­ma yang mendekati kebenaran.

Waraqah bin Naufal mempelajari agama Nasrani dan men­jadi pemeluk yang taat Sedang Abdullah bin Jahsy dan Ust­man bin Harist tidak mendapatkan apa-apa. Mereka kembali ke Mekkah dengan tangan kosong. Zaid mempelajari agama Yahudi dan Nasrani tapi hatinya tidak bisa menerima. Akhir­nya dia berkelana sampai bertemu dengan seorang rahib.

“Aku tahu engkau sedang mencari agama Ibrahim, wahai Putra Mekkah,” ujar Rahib itu saat bertemu Zaid, ‘Ketahuilah bahwa sekarang agama yang Anda cari hampir tidak ada.”

Zaid terlihat sedih. Namun kata-kata berikutnya dari sang rahib membuat semangatnya muncul lagi. ‘Kembalilah eng­kau ke Mekkah. Kelak Allah akan membangkitkan Nabi dari bangsamu. Dia datang untuk menyempurnakan agama Ibra­him.”

Zaid memutuskan kembali ke Mekkah. Di tengah jalan, dia dihadang oleh rombongan perampok. Dia pun terluka dan menjelang ajalnya dia berdoa, “Ya Allah... jika engkau haram­kan aku dari agama yang lurus ini, janganlah engkau haram­kan anakku Sa’id dari agama ini.”


Doa itu terkabul, Sa’id anak Zaid pun menerima kebenar­an tanpa keraguan sedikit pun. Dia masuk Islam saat usianya baru 20 tahun, bersama istrinya Fathimah binti Khattab. Me­reka berdualah yang menjadi jalan masuknya pahlawan besar Umar bin Khattab ke dalam barisan Islam. Keteguhan mereka dan kebeningan iman mereka membuat Umar yang datang dalam kondisi marah justru ingin mendengar Al-Qur'an. Subhanallah.

Sa'id membuktikan keimanannya dengan mengikuti hijrah baik ke Habasyah maupun ke Madinah. Dia juga mengikuti se­mua peperangan bersama Rasulullah. Hanya saat perang Ba­dar saja dia tidak ikut serta karena bersama Thalhah bin Ubaidillah ra., mendapat tugas mengintai kafilah dagang kaum Quraisy di laut Merah. Ketika Sa'id pulang dari tugas, kebetulan Rasulullah dan para sahabat pun baru pulang dari medan Ba­dar. Rasa sedih itulah yang membuat Sa'id tidak melewatkan peperangan lain semasa bersama Rasulullah.

Pada zaman Khalifah Umar bin Khattab, Sa'id bin Zaid mengikuti perang Yarmuk yang menumbangkan kekuasaan Romawi. Sa'id juga turut serta dalam perang melawan kekuat­an Persia. Dirinya juga ada saat tentara islam menguasai kota Damsyik. Oleh panglima perang yang bertugas Abu Ubaidillah bin Jarrah, Sa'id diminta menjadi wali kota itu.

Di masa tuanya, Sa'id kembali ke kota Madinah. Saat itu Marwan bin Hakam menjabat sebagai gubernur Madinah. Su­atu hari seorang wanita bernama Arwa binti Uwais menuduh­nya sudah mengambil tanah yang bukan haknya. Tanah kedu­anya memang berbatasan, dan Arwa menuduh Sa'id mengam­bil tanahnya hingga tanahnya jadi berkurang.

Gubernur memanggil Sa’id untuk mengonfirmasi tuduh­an Arwa. Sa'id hanya berujar, “Dia menuduhku menzaliminya (merampas tanahnya yang berbatasan dengan tanahku), ba­gaimana mungkin aku akan menzaliminya, padahal aku telah mendengar Rasulullah saw., bersabda, ‘Siapa yang mengambil tanah orang lain walau hanya sejengkal, nanti di hari kiamat Allah akan memikulkan tujuh lapis bumi di atas lehernya.”

Sa'id pun berdoa meminta Allah menunjukkan bukti bah­wa tuduhan itu bohong belaka. “Jika tuduhan itu fitnah, maka Allah akan menjadikan matanya buta dan dia jatuh ke dalam sumur."

Tak berapa lama terjadi banjir yang amat besar di Madinah. Maka terbukalah batas-batas tanah yang selama ini tertutup. Ternyata, apa yang dituduhkan tidak benar. Tak berapa lama mata Arwa binti Uwais menjadi buta dan seperti perkataan Sa'id, wanita itu terjatuh ke dalam sumur yang pernah dia sengketakan dengan Sa'id.

Hal ini bukan berarti Sa'id adalah seorang yang penden­dam hingga dia berdoa sebuah keburukan. Namun menunjuk­kan bahwa seorang muslim harusnya bisa menjaga lisannya dari memfitnah muslim yang lain. Perkataan Sa'id yang terwu­jud juga menunjukkan kualitas dirinya di hadapan Allah Swt. Karena selain sebagai seorang pejuang, Said juga terkenal se­bagai ahli ibadah dan selalu lurus dalam keimanan.

Sa'id kembali ke pangkuan Ilahi saat usianya mencapai 73 tahun di Madinah. Dirinya dimakankan bersama sahabat-sahabat lain di pemakaman Baqi.