Bung Tomo : Orator Ulung Dari Kota Pahlawan

Selamat Datang di Blog Materi IPA. Judul Postingan Kali ini tentang Bung Tomo : Orator Ulung Dari Kota Pahlawan. Semoga bermanfaat untuk dibaca.
Tidak banyak orang Indonesia yang mampu menggerakkan massa melalui pidato-pidatonya. Selain Sukarno yang terkenal dengan julukan Penyambung Lidah Rakyat, terdapat tokoh muda Surabaya yang mampu menyeru rakyat untuk terus berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan iringan pekik khas menggelegarnya, 'Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar'. Dialah Sutomo. Orang-orang biasa memanggilnya Bung Tomo.


Bung Tomo lahir di Surabaya, 3 Oktober 1920. Sejak muda usia, Bung Tomo telah mengikuti gerakan Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). Gerakan kepra­mukaan ini mampu mengasah jiwa atriotismenya dan menumbuhkan sikap mandiri baginya. Dalam usia remajanya, 17 tahun, Bung Tomo kemudian berkiprah dalam bidang politik dengan memasuki Partai Indone­sia Raya (Parindra) cabang Tembok Duku, Surabaya. Bung Tomo ditunjuk menjadi sekretaris dalam organi­sasi politik tersebut.

Dunia tulis-menulis dirambah pula oleh Bung Tomo. Tulisan pertamanya muncul di harian Oemoem, Surabaya, Ia terus berkarier dalam bidang kewarta­wanan hingga menjadi Pemimpin Redaksi Berita Anta­ra pada tahun 1945.

Sekalipun Indonesia telah menyatakan kemer­dekaannya, namun Belanda masih tetap berusaha ingin terus memperpanjang penjajahannya kembali. Beberapa orang Belanda sengaja memancing kemarahan rakyat Surabaya dengan mengibarkan bendera Merah Putih Biru di puncak hotel Yamato pada tanggal 19 September 1945. Kemarahan rakyat Surabaya tersulut. Dengan keberanian tinggi mereka menda­tangi hotel Yamato dan menurunkan paksa bendera Belanda. Warna biru bendera itu disobek dan Merah Putih kemudian dikibarkan. Rakyat Surabaya telah kuat bersikukuh, bendera Merah Putih Biru ‘haram’ hukum­nya berkibar di Surabaya.

Perseteruan Indonesia dengan pasukan Sekutu terus meruncing. Terlebih-lebih setelah Jenderal Mallaby, komandan Brigade 49 divisi 23, tewas dalam insi­den di Gedung Internatio Jembatan Merah. Mayor Mansergh pada tanggal 9 November 1945 mengeluarkan ultimatum Sekutu yang meminta semua pimpinan bangsa Indonesia menyerahkan senjata dan meng­angkat tangan sebagai tanda menyerah di tempat-tem­pat yang telah ditentukan. Batas waktu penyerahan itu tanggal 10 November 1945, jam 6 pagi. Jika 'perintah' ini tidak dilaksanakan, Surabaya akan digempur pasukan Sekutu habis-habisan.

Gubernur Suryo Sungkono dan Bung Tomo se­cara tegas menolak seruan Sekutu. Rakyat Surabaya yang tersulut kembali kemarahannya dengan ultima­tum Sekutu berdiri di belakang mereka. Kekuatan rakyat pun digalang dan mereka bersiap siaga ‘me­nunggu’ ancaman Sekutu.

Pasukan Sekutu melaksanakan ancamannya. Pada tanggal 10 November 1945 Surabaya digempur habis-habisan dari darat, laut dan udara. Pertempuran amat dahsyat terjadi. Bersenjatakan segala yang bisa dijadikan senjata, rakyat Surabaya bersatu padu me­lawan kecongkakan dan kebringasan pasukan Sekutu dengan kecanggihan dan kelengkapan peralatan pe­rangnya.

Bung Tomo tampil untuk menggelorakan sema­ngat tempur arek-arek Suroboyo lewat siaran radio, suara Bung Tomo menggelegar membakar dan me­mompa semangat juang rakyat Surabaya. Pekik khas­nya, 'Allahu Akbar! Allahu Akbar! Akbar!' adalah panggilan suci bagi segenap rakyat Surabaya untuk mempertahankan kemerdekaan negeri tercinta. Gele­gar pekik Bung Tomo mendapat sambutan rakyat Surabaya hingga sejarah mencatat pertempuran Sura­baya 10 November 1945 merupakan perang terdah­syat selama perjuangan kemerdekaan Indonesia! Demikian dahsyat berkobarnya peperangan Surabaya laksana tak terhingga jumlah putra-putra Ibu Pertiwi yang gugur sebagai kusuma bangsa di sana. Peme­rintah Indonesia kemudian menetapkan peristiwa Surabaya 10 November 1945 yang melambangkan ke­pahlawanan bangsa Indonesia yang dipe­lopori rakyat Suraba­ya tersebut menjadi Hari Pahlawan.

Bung Tomo ke­mudian ditunjuk se­bagai Ketua Umum Barisan Pemberon­takan Rakyat Indone­sia (BPR) selama masa Revolusi Fisik, 1945-1949. Bung Tomo juga tercatat pemah menjadi Dewan Penasehat Panglima Besar Jenderal Sudirman. Selain itu, Bung Tomo pernah pula menjabat sebagai Ketua Badan Koordinasi Produksi Senjata se­luruh Jawa dan Madura. Sementara pangkat kemi­literan yang disandang Bung Tomo adalah Mayor Jenderal.

Nama Bung Tomo perlahan-lahan menghilang dari pentas nasional kemudian. Nama Bung Tomo me­mang sempat terdengar tahun 1968 ketika ia mena­matkan pendidikan ekonominya di Universitas Indo­nesia (UI) Jakarta. Nama Bung Tomo kembali muncul tahun 1978 ketika ia ditangkap oleh rezim Suharto de­ngan tuduhan subversi.

Orator luar biasa peperangan Surabaya itu me­ninggalkan suara menggelegar khasnya yang tidak akan dilupakan rakyat Indonesia untuk selama-lamanya ketika ia menunaikan rukun Islam di Tanah Suci. Bung Tomo wafat ketika melaksanakan wukuf di Padang Arafah pada tanggal 7 Oktober 1981. Jasadnya diterbangkan ke tanah air dan selanjutnya dima­kamkan di Ngagel, Surabaya.