Tan Malaka merupakan tokoh yang gigih memperjuangkan gagasan revolusioner antipenjajahan dan menuntut kemerdekaan 100 persen. Pada zaman revolusi, Mohammad Yamin menjulukinya “Bapak Republik Indonesia”. Sedangkan pada 1963 ia memperoleh gelar Pahlawan Nasional. Tetapi sejak era Orde Baru namanya tidak disebut-sebut lagi. Bahkan buku-buku sejarah yang diajarkan di sekolah dasar sampai sekolah menengah tidak ada yang menyebut Tan Malaka sebagai pejuang atau pahlawan kemerdekaan.
Nama lengkapnya Sutan Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka, lahir di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1896. Ia belajar di sekolah guru di Bukittinggi sebelum melanjutkan pendidikan keguruan di Haarlem, Belanda pada 1913.
Semasa di Belanda ia bertempat tinggal di Jacobijnstraat dengan hanya sebuah kamar di loteng yang sempit dan gelap. Di masa ini pemahaman tentang politiknya mulai berkembang. Ia membaca karya-karya Nietzsche seperti Zu Sprack Zarathustra dan De Wil tot Macht. Kekagumannya terhadap Nietzsche dan Jerman mendorong dia untuk masuk dinas militer tentara Jerman, tetapi ditolak. Ia juga berkenalan dengan ideologi komunisme dengan membaca buku-buku karya tokoh-tokoh komunis seperti Het Capitaal, Marxistische Economie karya karl kautsky, dan buku-buku komunis lainnya.
Pada 1919 Tan Malaka memutuskan untuk pulang ke negerinya dan bekerja di perkebunan Tanjung Morawa, Deli, Sumatra Timur. Disana ia menyaksikan penindasan kolonialisme terhadap buruh perkebunan. Ia menaruh empati terhadap kaum buruh dan hal ini makin memacu semangat revolusionernya. Menurutnya, “Kekayaan bumi iklimnya Deli menjadi alat adanya satu golongan kaum modal penjajah yang paling kaya, paling sombong ceroboh dan paling kolot pada satu kutup. Di kutup yang lain berada satu golongan bangsa dan pekerja Indonesia yang paling terhisap, tertindas dan terhina: kuli kontrak,”
Ia terlibat dalam politik dan menjadi anggota Indies Social Democratic Association (ISDV), yang kemudian menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada 1921 ia berhenti bekerja dan pergi ke Jawa. Awalnya ke Yogyakarta, kemudian segera pindah ke Semarang, kota yang dia sebut Kota Merah. Bersama Semaun ia mendirikan sekolah rakyat. Ruang rapat Sarekat Islam (Merah) Semarang ia gunakan menjadi sekolah. Sekolah itu berkembang dengan cepat, dan menjadi model sekolah lain di kota lain.
Tan Malaka pernah terpilih sebagai ketua PKI menggantikan Semaun pada kongres PKI 24-25 Desember 1921. Dalam masa kepemimpinannya ia berhasil menghimpun tiga aliran terkemuka, yaitu Sarekat Islam dan National Indische Partij dalam menghadapi penjajahan. Bagi Tan Malaka komunisme dan Islam memang saling melengkapi dan revolusi mestinya dibangun diatas keduanya.
Aktifitas Tan Malaka dipandang pemerintah kolonial sebagai kegiatan subversif. Maka ia ditangkap dan diusir ke luar negeri pada 22 Maret 1922, atas dasar exorbitante rechten gubernur jendral Hindia Belanda. Exorbitante rechten adalah hak prerogative gubernur jendral untuk menangkap atau mengasingkan siapapun yang dinilai mengacaukan stabilitas keamanan. Sejak itu ia mengembara ke berbagai negara selama 20 tahun, baik sebagai orang biasa maupun buronan. Dalam pelariannya ia juga memiliki banyak nama samaran, seperti Elies Fuente ketika memasuki Manila dan Hongkong (1927), Oong Soong Lee ketika memasuki Hongkong dari Shanghai (1932), Ramli Husein saat kembali ke Indonesia(1942). Nama samara lainnya adalah Ilyas Hussein, Cheng Kun, Tat, Elisio Rivera dan Haji Hassan saat berada di Chiang May.
Ia pergi ke Belanda, Jerman, kemudian ke Moskow. Ia pun terlibat di Komintern (komunis internasional) dan diangkat menjadi wakil Komintern untuk Asia tenggara. Saat sidang Komunis Internasional di Moskow ia memandang komunisme perlu bekerja sama dengan Pan Islamisme dan kaum nasionalis. Ia memandang Islam sebagai pegangan yang potensial untuk menyatukan kelas pekerja di beberapa negara di Afrika Utara, Timur Tengah, Asia Selatan melawan imperalisme dan kapitalisme. Sikapnya ini berlawanan dengan komunis Eropa dan pemimpin Komintern.
Selama di luar negeri Tan Malaka mengirim buku-buku yang ditulisnya sendiri seperti Massa Aksi dan yang paling terkenal Naar de Republiek Indonesia atau Menuju Republik Indonesia kepada anggota PKI dan para pemimpin pergerakan lainnya seperti Soekarno dan Hatta. Naar de Republiek Indonesia merupakan analisis Tan Malaka mengenai konsep negara Indonesia yang tengah diperjuangkan.
Pada tahun 1926 terjadi pemberontakan PKI di Hindia Belanda. Pemberontakan itu gagal dan ribuan orang mati disiksa atau dibuang ke Boven Digul. Akibat dari pemberontakan itu bukan hanya PKI yang hancur, namun berpengaruh juga kepada seluruh pergerakan nasional karena pemerintah dengan mudah mencap golongan perlawanan sebagai komunis. Tan Malaka tidak setuju dengan pemberontakan ini dan dengan keras memperingatkan agar rencana tersebut dibatalkan saja. Tetapi upayanya gagal, karena pemberontakan itu benar-benar terjadi. Maka terjadi perpecahan antara dia dengan PKI, yang sebelumnya telah ada sebelum pemberontakan. Ia juga berselisih paham dengan Komintern karena tidak setuju dengan sikap Komintern yang menentang pan-Islamisme.
Pada 2 Juni 1927, dalam pelariannya di Bangkok, Thailand, Tan Malaka bersama Subakat dan Djamaluddin Tamim mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI). Organisasi ini dapat berjalan selama 10 tahun walaupun pemimpin-pemimpinnya banyak yang masuk penjara atau dihukum mati. Tan Malaka sendiri terisolir di Cina dan menderita sakit dalam usahanya menghindari tentara kolonial. Untuk menghidupi dirinya ia mendirikan sekolah bahasa asing. Pada 1937 ia terpaksa melarikan diri ke Singapura dan menyamar sebagai guru Cina sampai 1942. Akhirnya ia ke Medan, menyusuri Sumatra sampai akhirnya tiba di Jakarta. Disana ia bermukim di perkampungan buruh dan menghidupi dirinya sebagai penjahit. Disana ia mengarang sebuah buku yang merupakan pemikirannya tentang filsafat dan diharapkan dapat menjadi pedoman bagi bangsa Indonesia untuk membangun cara berfikir yang ilmiah; Madilog (Materialisme-Dialektika-Logika).
Setelah proklamasi Tan Malaka bertemu dengan Soekarno. Soekarno sangat terkesan dengan dengan kecemerlangan Tan Malaka, hingga ia mengatakan:”Kalau saya tiada berdaya lagi, maka kelak pimpinan revolusi akan saya serahkan kepada saudara”. Tetapi pada Maret 1946 Tan Malaka dipenjara oleh perdana menteri Syahrir sampai September 1948 tanpa pernah diadili, karena dituduh akan melakukan kudeta. Setelah bebas ia membentuk Partai Murba di Yogyakarta, 7 November 1948.
Saat Belanda menangkap para pemimpin pemerintahan pada Desember 1948, Tan Malaka melarikan diri ke pedesaan di Jawa Timur. Ia mendirikan markasnya di Blimbing, sebuah desa yang dikelilingi persawahan. Ia berhubungan dengan Mayor Sabarudin, komandan Batalion 38. Akibat konflik dengan kelompok tentara yang lain, Sabarudin dan anak buahnya ditangkap pimpinnan TNI Jawa Timur dan didakwa berdasarkan undang-undang militer. Tan Malaka juga ditangkap di Blimbing, 19 Februari 1949 dan secara diam-diam dieksekusi pada 1921 di Kediri, jawa Timur.
Pada 28 Maret 1963 Tan Malaka ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno.