Namanya memang tidak setenar RA Kartini, tetapi peranannya dalam memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan sangat nyata dan tidak bisa dipandang sebelah mata. Sejak berusia 23 tahun ia sudah mendirikan sekolah agama pertama untuk kaum perempuan. Ia juga menjadi perempuan pertama yang memperoleh gelar “Syaikhah” dari Universitas al-Azhar, Mesir pada 1957.
*****
Rahmah el-Yunusiyah lahir di Padang Panjang, Sumatra Barat pada 20 Desember 1900 dari keluarga terpandang dan taat beragama dan termasuk golongan pembaharuan Islam di Sumatra Barat. Ia anak bungsu dari pasangan Syekh Muhammad Yunus dan Rafi'ah. Ayahnya adalah seorang qadhi (hakim) di wilayah Pandai Sikat yang juga ahli dalam ilmu falak. Sedangkan kakeknya, Syekh Imaduddin, adalah ulama terkenal Minangkabau.
Rahmah belajar membaca dan menulis tulisan Arab dan latin dari kakaknya, Zainuddin Labay El Yunusy dan Muhammad Rasyad setelah ayahnya wafat. Ketika pada 1915 Zainudin mendirikan Diniyyah School, sekolah Islam dengan sistem modern, Rahmah ikut belajar disana. Disamping itu, pada sore harinya ia berguru pula kepada Syaikh Abdul Karim Amrullah, yang merupakan ayah Buya Hamka. Beliau juga berguru pada Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim (pemimpin sekolah Thawalib Padangpanjang), Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Abdul Latif Rasjidi, dan Syekh Daud Rasjidi. Selain belajar agama,ia juga mempelajari ilmu kesehatan dan keterampilan-keterampilan wanita.
*****
Rahmah memiliki cita-cita yang sangat mulia, yaitu mencerdaskan anak bangsa, terutama kaum perempuan yang saat itu masih tercecer dalam bidang pendidikan. Menurutnya, perempuan pun memiliki kecerdasan yang sama dengan laki-laki. Rahmah beranggapan bahwa perempuan harus memiliki pendidikan yang memadai meski hanya berperan sebagai ibu rumah tangga. Maka ia mengeluarkan gagasan untuk mendirikan lembaga pendidikan bagi perempuan.
Pada 1 November 1923 Rahmah merintis sekolah agama untuk putri dengan nama madrasah diniyyah lil banat/Diniyyah School Puteri. Ada juga yang menamakannya dengan Meisjes Diniyyah School. Dalam mengembangkan sekolahnya ia mencurahkan segenap tenaga, pikiran, dan hartanya. Berbagai tantangan dan kesulitan pun ia selesaikan tanpa putus asa.
Sebuah ruang di Masjid Pasar Usang adalah tempat belajar yang ia gunakan pertama kali, tanpa peralatan belajar yang memadai. Tetapi untuk kegiatan belajar mengajar diperlukan tempat yang representatif. Maka Rahmah beserta pengurus sekolah mengusahakan untuk menyediakan tempat beserta peralatan sekolah seperti bangku dan papan tulis untuk menampung para murid.
Dengan segala kendala dan rintangan yang sering dihadapi Rahmah dan penerusnya, sekolah ini tetap bertahan. Bahkan dalam perjalanannya, Diniyyah Putri tidak hanya menerima murid dari Sumatra Barat saja, ada juga murid dari Sumatera Utara, Aceh, hingga Singapura dan Malaysia.
Lembaga pendidikan yang didirikannya tidak hanya mengajarkan ilmu agama. Pelajaran keterampilanpun diajarkan, seperti pelajaran tenun, anyam-anyaman, masak-memasak, dan jahit-menjahit, juga pelajaran olah raga, kesehatan, dan kesenian.
*****
Pada masa revolusi kemerdekaan, ia pernah dipenjarakan Belanda dan baru dibebaskan tahun 1949 setelah pengakuan kedaulatan. Ia juga pernah aktif di bidang politik, dengan menjadi anggota KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah) Sumatra Tengah, ketua Barisan Sabilillah dan Sabil Muslimat di Padang, dan anggota Konstituante mewakili Masyumi. Peranannya yang paling menonjol adalah kepeloporannya dalam pembentukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) pada tanggal 2 Oktober 1945.
Pada 1957 ia menunaikan ibadah haji. Di tahun itu pula ia diundang oleh Universitas al-Azhar di Kairo untuk memperoleh gelar kehormatan “Syaikhah”.
Rahmah El-Yunusiyah meninggal dunia dirumahnya pada 26 Fabruari 1969. Sehari sebelum ia wafat, ia masih sempat berkunjung ke Gubernur Sumatra Barat sat itu, Harun Zein, dengan tujuan mengharapkan perhatian dari pemerintah untuk memperhatikan sekolahnya.