Ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) pimpinan Muso melancarkan pemberontakan di Madiun, Jawa Timur pada tanggal 18 September 1948, Markas Pengurus Besar Nahdatul Ulama saat itu berlokasi di kota Madiun setelah sebelumnya berada di Pasuruan. Selaku Ketua Pengurus Besar Nahdatul Ulama, Kyai Haji Muhammad Dahlan bersama-sama PBNU memutuskan untuk meninggalkan kota Madiun, Namun kebanyakan warga NU yang tersebar di Indonesia tidak mengetahui ke mana PBNU tersebut akhirnya memindahkan markas besarnya mengingat kondisi revolusi yang serba tidak menentu ketika itu.
Begitu pula dengan keberadaan K.H Muhammad Dahlan serta Pengurus Besar Nahdatul Ulama lainnya. Kontak telah berulangkali diusahakan, namun sulit mendapatkan kepastian mengingat sarana komunikasi sangat terbatas. Mengingat itu semua, Rois Akbar Nahdatul Ulama, K.H. Abdul Wahab Chasbullah, segera menghimpun tokoh-tokoh Nahdatul Ulama yang masih dapat dihubungi untuk melaksanakan musyawarah guna memilih Ketua PBNU yang baru. Hasil keputusan musyawarah menetapkan Kyai Haji Abdul Wahid Hasyim sebagai Ketua Pengurus Besar Nahdatul Ulama.
Ketika K.H. Abdul Wahid Hasyim yang bertindak sebagai Ketua PBNU tengah memimpin konferensi besar NU di Tulung Agung, secara tidak terduga hadirlah K.H. Muhammad Dahlan pada konferensi tersebut. Dalam arah Nahdatul Ulama, baru terjadi organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut mempunyai dua orang Ketua Umum. Pertemuan dua ulama yang sama-sama menjabat ketua PBNU berakhir sangat melegakan karena kedua-duanya merasa bukan dua ‘pesaing’, melainkan satu kesatuan dalam persaudaraan Islam.
Konferensi Besar tersebut kemudian memutuskan K.H Abdul Wahid Hasyim tetap menjabat Ketua PBNU sementara wakilnya dijabat K.H. Muhammad Dahlan. Dimana kelak, K.H. Muhammad Dahlan akan kembali menjadi Ketua PBNU setelah K.H. Abdul Wahid Hasyim berpulang ke rahmatullah pada 19 April 1953.
Abdul Wahid Hasyim dilahirkan di Jombang, Jawa Timur, 1 Juni 1914. Beliau adalah putra K.H. Hasyim Asy'ari, ulama besar sekaligus pendiri Nahdatul Ulama. Masa kecil Abdul Wahid Hasyim dihabiskannya dengan menimba ilmu di pesantren-pesantren, termasuk pesantren Tebu lreng milik ayahnya. Selain itu, Abdul Wahid Hasyim secara otodidak mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan lainnya hingga ia dikenal mempunyai wawasan pengetahuan yang sangat luas.
Pada tahun 1935 K.H. Wahid Hasyim mendirikan madrasah modern dengan nama Madrasah Nidzamiyah. la juga mendirikan lkatan Pelajar-Pelajar Islam (IPPI) pada tahun 1936.
Seperti halnya ayahandanya yang terkenal sebagai ulama kharismatik, begitu pula halnya dengan Wahid Hasyim. Ketokohan dan keluasan ilmunya menjadikannya ditunjuk sebagai Ketua Besar Pengurus Nahdatul Ulama. Tidak hanya dalam bidang keagamaan saja, nama Wahid Hasyim juga berada di pentas politik pergerakan nasional. Bersama K.H. Mas Mansyur dan K.H.Taufiqurrahman, K.H. Wahid Hasyim mendirikan Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) ketika masa pendudukan Jepang.
K.H. Wahid Hasyim juga merupakan salah seorang anggota dari Panitia Sembilan dari Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Panitia kecil itu mengambil waktu selama reses setelah menjalani sidang pertama hingga berhasil menghasilkan suatu rumusan yang menggambarkan asas dan tujuan pembentukan negara Indonesia merdeka. Hasil rumusan tersebut diberi nama Piagam Jakarta (Jakarta Charter) dan kemudian ditandatangani Mr. Mohammad Yamin pada tanggal 22 Juni 1945.
Rumusan dalam Piagam Jakarta perihal lima asas falsafah negara Indonesia Merdeka mencantumkan sila pertama yang berbunyi, Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Rumusan sila pertama ini mendapat tanggapan dan menjadi bahan perdebatan yang 'panas'.
Menanggapi berbagai pendapat yang menyebutkan anak kalimat sila pertama tersebut dapat menyebabkan timbulnya fanatisme karena adanya 'pemaksaan' umat Islam untuk menjalankan syariat agamanya, K.H. Wahid Hasyim menanggapinya dengan menyatakan akibat dari anak kalimat tersebut sesungguhnya tidaklah sejauh seperti yang ditakutkan banyak pihak. Namun penjelasan K.H. Wahid Hasyim tetap mendapat tanggapan 'keras' dari berbagai pihak.
Perdebatan sengit mengenai bunyi sila pertama tersebut terus terjadi hingga akhirnya Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Sehari setelah Indonesia mengumumkan kemerdekaannya, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang untuk yang pertama kali dan mengambil keputusan bersama, dimana salah satunya adalah merubah kalimat sila pertama Pancasila hingga berbunyi, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ketokohan dan ketinggian ilmu K.H. Wahid Hasyim membuatnya ditunjuk menjadi Menteri Negara dalam Kabinet Presidentil pada 2 September 1945. Tidak itu saja,K.H. Wahid Hasyim juga ditunjuk menjadi Menteri Agama dalam tiga periode pemerintahan, yakni dalam Kabinet Republik Indonesia Serikat (20 Desember 1949 - 6 September 1950), Kabinet Natsir (6 September 1950 - 27 April 1951) dan Kabinet Sukiman – Suwiryo (27 April 1951 - 3April 1952).
Nahdatul Ulama dalam pimpinan K.H. Wahid Hasyim kemudian menyatakan keluar dari Masyumi pada tahun 1951 dan mendirikan partai politik Nahdatul Ulama. K.H. Wahid Hasyim terpilih menjadi Ketua Umum dengan wakil-wakilnya, antara lain K.H. Masykur (yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Agama dalam beberapa kali kabinet) dan K.H. Muhammad Dahlan (yang kemudian juga menjadi Menteri Agama dalam Kabinet Ampera II dan Kabinet Pembangunan I).
Ulama kharismatik ini wafat pada 19 April 1953, setelah beliau mengalami kecelakaan mobil di daerah Cimahi, sebelah barat kota Bandung. Jenazah K.H. Wahid Hasyim dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur. Pemerintah Indonesia mengangkatnya sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional pada tahun 1964.
Sekitar 46 tahun kemudian, 20 Oktober 1999, putra sulung K.H. Wahid Hasyim, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih menjadi presiden ke-4 Republik Indonesia.