Thomas Hobbes : Pencetus Pemikiran Commonwealth dan Kontrak Sosial

Selamat Datang di Blog Materi IPA. Judul Postingan Kali ini tentang Thomas Hobbes : Pencetus Pemikiran Commonwealth dan Kontrak Sosial. Semoga bermanfaat untuk dibaca.

Thomas Hobbes lahir di Inggris pada tahun 1588 dan meninggal pada tahun 1669. Ia adalah anak seorang pendeta, namun dibesarkan oleh saudara ayahnya. Ia pernah belajar di Universitas Oxford, tetapi ia merasa bahwa pendidikan di perguruan tinggi tersebut tidak memberikan manfaat kepadanya. Ketika berumur 22 tahun, ia mulai memberikan pendidikan kepada seorang bangsawan. Pekerjaan tersebut membuatnya merantau ke beberapa negeri di Eropa barat. Dalam masa itu pula, ia berkenalan dengan tokoh-tokoh ilmu pasti dan alam.

Hobbes hidup saat kondisi negaranya sedang kacau balau karena perang saudara. Ia pernah mengalami masa genting di Inggris yang digelimangi oleh kecemasan dan ketakutan, serta kepentingan-kepentingan pribadi yang menonjol. Ia sangat menginginkan negaranya stabil, dan itulah yang membuatnya tertarik dengan dunia politik. Ia mempunyai ikatan karier dan politik dengan kalangan kerajaan, sehingga dalam persaingan kerajaan versus parlemen, ia memihak kerajaan dan anti terhadap parlemen yang dianggap sebagai sumber utama perang saudara.

Meskipun ia sendiri tidak secara langsung bersentuhan dengan permasalahan perang saudara tersebut, tetapi kondisi itu berbuah pada tulisan-tulisan serta pemikiran-pemikirannya tentang masyarakat dan negara. Sebuah tulisan yang membuatnya terkenal adalah Leviathan atau Commonwealth. Di dalam buku tersebut, ia menunjukkan secara nyata bahwa manusia dan pergaulan hidup merupakan suatu mekanisme, dan manusia sebenarnya penuh dengan rasa takut serta hanya bertindak berdasar kepentingan diri. Ia berpendapat jika nilai itu bersifat subjektif. Ia juga mengemukakan bahwa telah menjadi fitrah manusia untuk berselisih dan bertengkar dengan sesamanya. Manusia memang mempunyai persamaan dalam kesanggupan, tetapi ini berlaku pula sesamanya, yang hanya bisa selesai bila ada kekuasaan pada salah satu pihak dalam menghadapi pihak yang lain. Namun, di balik pertentangan itu, manusia mempunyai keinginan untuk hidup damai dan rukun. Ini menyebabkan manusia tunduk pada kekuasaan yang diakui bersama. Hanya saja, keinginan untuk berkuasa tidak ada hentinya sampai ajal menghapuskan keinginannya.

Lantas, bagaimana akibat hal tersebut pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara? Menurut Hobbes, kehidupan dalam keadaan alami (state of nature), suatu keadaan di mana fitrah dan tabiat manusia terdapat tanpa adanya hambatan dan restriksi apa pun. Dengan sendirinya, keadaan seperti itu menggambarkan permusuhan sengit antar manusia untuk berkuasa dan mempertahankan kebebasannya. Segalanya akan lebih efektif apabila seseorang dapat menguasai yang lain.

Pemikiran Hobbes yang penting yaitu tentang social contract (perjanjian bersama, perjanjian masyarakat, atau kontrak sosial). Perjanjian ini mengakibatkan manusia-manusia bersangkutan menyerahkan segenap kekuatan dan kekuasaannya masing-masing kepada seseorang atau suatu majelis. Gerombolan orang yang berjanji itu pun menjadi satu, dan ini dinamakan commonwealth atau civitas. Pihak yang memperoleh kekuasaan itu mewakili mereka yang telah berjanji.

Jadi, menurut Hobbes, isi perjanjian bersama tersebut mengandung dua segi. Pertama, perjanjian antara sesama sekutu, sehingga tercipta sebuah persekutuan. Kedua, perjanjian menyerahkan hak dan kekuasaan masing-masing kepada seseorang atau majelis secara mutlak. Menurutnya, penguasa dapat mempergunakan segala cara, termasuk kekerasan, untuk menjaga ketenteraman yang dikehendaki di awal. Meskipun Hobbes mengatakan bahwa penguasa dapat berupa majelis, tetapi ia lebih suka melihatnya berada di tangan satu orang. Sebab, satu orang akan dapat berpegang terus pada satu kebijakan dan tidak berubah-ubah karena banyaknya pemikiran seperti dalam majelis. Walaupun menurutnya kekuasaan bersifat mutlak, namun ada beberapa hal yang membolehkan rakyat untuk menentangnya.

Hobbes justru tiba pada simpulan yang memberikan dasar pembenar pada model pemerintahan yang otokratik. Menurut dirinya yang hidup seabad sebelum Rousseau, dalam "keadaan alami sebelum terbentuknya masyarakat negara", setiap individu manusia akan berkebebasan dengan tanpa batas. Dalam kehidupan natural-state itu, setiap individu manusia memiliki kebebasan untuk berbuat apa pun dan/atau untuk memiliki objek apa pun. Kebebasan tanpa batas seperti itu, wajar apabila akan berkonsekuensi pada terjadinya perkelahian oleh semua terhadap semua (bellum omnium contra omnes) dan setiap manusia akan berlaku sebagai serigala bagi sesamanya (homo homini lupus). Dengan demikian, menurut penalaran Hobbes, situasi yang tidak menguntungkan tersebut hanya akan dapat diatasi apabila manusia-manusia yang masing-masing berkebebasan dalam keadaan alami itu bersedia membentuk suatu komunitas politik lewat suatu kontrak sosial.

Lewat kontrak sosial tersebut, individu-individu manusia akan dapat menikmati hak-haknya sebagai warga komunitas, asalkan mereka bersedia untuk berlaku patuh pada hukum yang berhakikat sebagai hasil kesepakatan kontraktual, serta tunduk mutlak kepada penguasa yang bertugas menegakkan hasil kesepakatan kontraktual. Karena sang penguasa ini berposisi sebagai pihak ketiga yang bukan partisipan kontrak sosial, maka ia tidak akan sekali-kali terikat pada kontrak sosial tersebut. Dari sinilah datangnya simpulan Hobbes, sebagaimana yang ia tulis dalam bukunya yang berjudul Leviathan, bahwa kontrak sosial yang bertujuan menjaga tertib sosial dengan memberikan mandat penuh kepada penguasa itu akan membenarkan penyelenggaraan pemerintahan otokratik yang absolut.