Meskipun darahnya bukan ‘mumi’ Indonesia, campuran antara Belanda, Jerman, Perancis, dan Jawa, namun jiwa dan semangatnya sungguh-sungguh Indonesia sejati, la mengaku dirinya orang Indonesia dan berasal dari suku Jawa, ia juga ‘mengganti’ nama aslinya, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker, dengan nama yang terdengar lebih Indonesia, Danudirja Setiabudhi.
Danudirja Setiabudhi dilahirkan di Pasuruan, Jawa Timur, pada tanggal 8 Oktober 1879. Ia pernah kuliah di Universitas Zurich, Swiss, dan mendapat julukan ‘penjahat internasional’ di sana karena keberaniannya menentang penjajahan bangsa-bangsa Barat terhadap bangsa-bangsa Asia dan Afrika.
Berbagai peran pernah disandang Danudirja Setiabudhi dan semua peran itu dapat digunakannya untuk menunjukkan cintanya pada Indonesia. la pernah bekerja di perkebunan kopi di Malang, namun segera ia keluar setelah mendapati perlakuan sewenang-wenang Belanda terhadap buruh Indonesia. Ia pernah pula menjadi guru kimia dan juga melakukan riset pendidikan ke luar negeri. Bersama dengan Cipto Mangunkusumo, Danudirja Setiabudhi mengelola harian De Express pada tahun 1911. Setahun kemudian ia bersama Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) mendirikan Indische Partij (IP), organisasi yang sangat keras pertentangannya dengan pemerintah kolonial Belanda yang membuat pemerintah kolonial Belanda mengasingkan mereka bertiga ke negeri Belanda selama 6 tahun.
Berulang-ulang kemudian Danudiija Setiabudhi merasakan pengapnya penjara karena sikap kukuhnya melawan pemerintah kolonial Belanda hingga akhirnya ia dipenjara di negeri Belanda pada tahun 1941. la berhasil pulang kembali ke Indonesia setelah perang dunia II berakhir, la turut terlibat dalam berbagai usaha agar Indonesia meraih kemerdekaannya. Setelah Indonesia merdeka, Danudirja Setiabudhi juga aktif mendarmabaktikan dirinya untuk negeri tercintanya. Ia pernah dipercaya menjadi Menteri Negara dalam Kabinet Syahrir III (2 Oktober 1946 - 26 Juni 1947). Selanjutnya juga ditunjuk menjadi penasehat bagi delegasi Republik Indonesia yang hendak mengadakan perundingan dengan pemerintah Belanda.
Ketika pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melancarkan agresi II, Danudjrja Setiabudhi turut ditangkap bersama para pemimpin nasional lainnya. Lagi-lagi, Danudirja Setiabudhi harus merasakan pengapnya udara penjara. Sekitar dua tahun kemudian, 28 Agustus 1950, Danudirja Setiabudhi menghembuskan napas terakhirnya di Bandung. Jenazah tokoh pergerakan nasional ini dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung. Pemerintah Indonesia mengangkat Danudirja Setiabudhi sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional pada tahun 1961.
Berbagai peran pernah disandang Danudirja Setiabudhi dan semua peran itu dapat digunakannya untuk menunjukkan cintanya pada Indonesia. la pernah bekerja di perkebunan kopi di Malang, namun segera ia keluar setelah mendapati perlakuan sewenang-wenang Belanda terhadap buruh Indonesia. Ia pernah pula menjadi guru kimia dan juga melakukan riset pendidikan ke luar negeri. Bersama dengan Cipto Mangunkusumo, Danudirja Setiabudhi mengelola harian De Express pada tahun 1911. Setahun kemudian ia bersama Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) mendirikan Indische Partij (IP), organisasi yang sangat keras pertentangannya dengan pemerintah kolonial Belanda yang membuat pemerintah kolonial Belanda mengasingkan mereka bertiga ke negeri Belanda selama 6 tahun.
Berulang-ulang kemudian Danudiija Setiabudhi merasakan pengapnya penjara karena sikap kukuhnya melawan pemerintah kolonial Belanda hingga akhirnya ia dipenjara di negeri Belanda pada tahun 1941. la berhasil pulang kembali ke Indonesia setelah perang dunia II berakhir, la turut terlibat dalam berbagai usaha agar Indonesia meraih kemerdekaannya. Setelah Indonesia merdeka, Danudirja Setiabudhi juga aktif mendarmabaktikan dirinya untuk negeri tercintanya. Ia pernah dipercaya menjadi Menteri Negara dalam Kabinet Syahrir III (2 Oktober 1946 - 26 Juni 1947). Selanjutnya juga ditunjuk menjadi penasehat bagi delegasi Republik Indonesia yang hendak mengadakan perundingan dengan pemerintah Belanda.
Ketika pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melancarkan agresi II, Danudjrja Setiabudhi turut ditangkap bersama para pemimpin nasional lainnya. Lagi-lagi, Danudirja Setiabudhi harus merasakan pengapnya udara penjara. Sekitar dua tahun kemudian, 28 Agustus 1950, Danudirja Setiabudhi menghembuskan napas terakhirnya di Bandung. Jenazah tokoh pergerakan nasional ini dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung. Pemerintah Indonesia mengangkat Danudirja Setiabudhi sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional pada tahun 1961.