Soeratin Sosrosoegondo

Selamat Datang di Blog Materi IPA. Judul Postingan Kali ini tentang Soeratin Sosrosoegondo. Semoga bermanfaat untuk dibaca.
Ir. Soeratin Sosrosoegondo (17 Desember 1898-1 Desember 1959) adalah pendiri sekaligus Ketua Umum PSSI pertama periode 1930-1940. Lahir di Yogyakarta dari kalangan terpelajar. Ayahnya R. Soesrosoegondo adalah guru di Kweekschool, menulis buku Bausastra Bahasa Jawi. Istrinya, R.A. Srie Woelan, adik kandung Dr Soetomo, pendiri Budi Utomo.

Soeratin menimba ilmu di Sekolah Teknik Tinggi di Hecklenburg, Jerman. Setelah meraih gelar insinyur sipil pada 1927, Soeratin muda kembali ke Indonesia pada 1928. Setelah itu Soeratin bekerja di perusahaan konstruksi terkemuka milik Belanda dengan gaji sekitar seribu gulden per bulan. Pada saat yang sama, Soeratin mulai merintis pendirian organisasi sepak bola Indonesia.

Untuk mewujudkan cita-citanya Soeratin melakukan pertemuan dengan tokoh sepak bola pribumi di Solo, Yogyakarta, Magelang, Jakarta, dan Bandung. Pertemuan itu diadakan secara sembunyi untuk menghindari sergapan Intel Belanda (PID). Pada 19 April 1930, beberapa tokoh dari berbagai kota berkumpul di Yogyakarta untuk mendirikan PSSI. Ketika itu PSSI masih bernama Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia. PSSI kemudian melakukan kompetisi secara rutin sejak 1931.

Demi mengurus PSSI Soeratin rela keluar dari pekerjaannya di perusahaan Belanda dan mendirikan usaha sendiri. Baginya, membangun PSSI butuh konsentrasi besar. Masih banyak persoalan yang mesti dihadapi PSSI ketika itu, dari mulai isolasi yang dilakukan NIVB hingga membangun solidaritas bond-bond sepakbola bumiputera yang (kadang-kadang) masih saling bersaing satu sama lain.

Ketika Jepang ke Indonesia dan mengakibatkan pecahnya perang kemerdekaan, Soeratin mengalami kehidupan yang amat sulit. Lelaki yang aktif dalam TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dengan pangkat Letnan Kolonel ini rumahnya diobrak-abrik Belanda.

Setelah kemerdekaan Soeratin bekerja dan jadi salah seorang pimpinan DKA (Djawatan Kereta Api). Kehidupannya kemudian mengalami kesulitan ekonomi hingga meninggal dunia pada 1959 setelah sakit dalam waktu yang lama dan tidak mampu menebus obat. Rumahnya berukuran 4 x 6 meter di Jalan Lombok Bandung, terbuat dari gedhek (dinding bambu). Tidak ada yang ditinggalkan kecuali organisasi yang dicintainya, PSSI.