Ki Hadjar Dewantara : Bapak Pendidikan Nasional

Selamat Datang di Blog Materi IPA. Judul Postingan Kali ini tentang Ki Hadjar Dewantara : Bapak Pendidikan Nasional . Semoga bermanfaat untuk dibaca.
Kerata basa dalam bahasa Jawa mengartikan guru adalah sosok yang digugu lan ditiru (dituruti ucapannya dan dicontoh kelakuannya). Guru diwajibkan untuk berlaku sebagai pemimpin. Penjabaran makna pemimpin adalah di depan yang dapat mem­beri contoh keteladanan, di tengah yang dapat membang­kitkan motivasi dan di belakang yang mampu memberikan pengawasan serta dorongan untuk terus maju. Prinsip pengajaran ini dikenal dengan semboyan Ing ngarso sung tulodho, Ing madya mangun karso, tutwuri handayani. Pemilik semboyan indah itu adalah perguruan Tamansiswa. Dan orang yang mendirikan Perguruan Tamansiswa itu adalah lelaki bangsawan Paku Alaman Yogyakarta, Ki Hadjar Dewantara.


Nama kecilnya Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Dilahirkan di Yogyakarta tanggal 2 Mei 1889. Ia bangsawan dari Paku Alaman Yogyakarta. Paku Alam III adalah kakeknya sedangkan ayahnya adalah Kanjeng Pangeran Suryaningrat.

Setamat dari ELS (Eluropesche Lagere School - Sekolah Dasar Belanda) Ki Hadjar Dewantara meneruskan pendidikannya ke Sekolah Guru namun tidak sampai tamat. Pada tahun 1905 Ki Hadjar Dewantara bersekolah di Sekolah Dokter Boemi Poetera (STOVIA). Namun, lagi-lagi bangsawan muda Paku Alaman itu tidak sampai tamat karena beasiswanya dicabut setelah ia gagal menyelesaikan ujian kenaikan tingkat. Meski ayahnya terhitung seorang ningrat utama di Paku Alaman, namun Kanjeng Pangeran Suryaningrat tidak mempunyai cukup biaya untuk melanjutkan pendidikan anaknya itu.

Putus sekolah tidak membuat Ki Hadjar Dewan­tara patah arang, la yang telah aktif dalam pergerakan nasional menyalurkan ekspresi perjuangannya melalui tulisan-tulisannya. Berbagai tulisan-tulisannya dimuat di berbagai media massa, di antaranya Sedya Tama, Midden Java, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, De Express, Tjahaja Timoer dan Poesara. Selain aktif menulis, ia juga bekerja di Apotek Rathkamp, Yogya­karta.

Selain Abdul Muis yang menggelorakan boikot atas perayaan yang diadakan Belanda untuk mengenang seratus tahun terbebasnya Belanda dari penja­jahan Perands, Ki Hadjar Dewantara juga menunjuk­kan ketidaksenangannya dengan rencana pemerintah Kolonial Belanda itu. Ki Hadjar Dewantara melakukan protesnya melalui tu­lisan-tulisannya yang tajam menggigit yang diberinya judul Ais Ik Een Nederiander Was (Jika Aku Seorang Belanda) dan Een Voon Allen maar Ook Allen voor Een (Satu Untuk Semua, namun Semua Untuk Satu Juga).

Organisasi Boedi Oetomo adalah organisasi pertama yang diikuti Ki Hadjar Dewantara. Di orga­nisasi yang dipimpin Soetomo itu, Ki Hadjar Dewant­ara berada dalam divisi propaganda. Ki Hadjar Dewan­tara kemudian menjadi anggota redaksi De Express yang dipimpin Danudirja Setyabudhi (Douwes Dekker) dan Cipto Mangunkusumo pada tahun 1911. Setahun kemudian, tepatnya tanggal 25 Desember, mereka bertiga - yang kelak terkenal dengan sebutan Tiga Serangkai - mendirikan organisasi pertama yang ber­gerak dalam bidang politik dengan tujuan mencapai Indonesia merdeka, Indische Partij (IP) di Bandung.

Mengingat organisasi yang didirikan Tiga Serangkai itu bersifat progresif, pemerintah Kolonial Belanda menolak untuk memberikan badan hukum. Selain itu, pemerintah Belanda mulai ketat mengawasi gerak-gerik Danudirja Setyabudhi (Douwes Dekker), Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) karena tujuan yang tersirat dari pembentukan organisasi yang mereka bentuk dianggap bahaya bagi pemerintah Belanda.

Program-program yang digagas dalam Indischel Partij, yakni menanamkan rasa cinta bangsa dan tanah air, mencegah terjadinya perselisihan antarsuku dan antar umat beragama serta berusaha untuk men­dapatkan persamaan hak bagi semua orang Indonesia, jelas-jelas menunjukkan ‘perlawanannya’ terhadap pemerintah Belanda. Karena aktivitas politik mereka terus menunjukkan ‘perlawanannya’ terhadap peme­rintah Belanda, maka Belanda kemudian menangkap Danudirja Setyabudhi (Douwes Dekker), Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara). Tidak tanggung-tanggung hukuman yang disiapkan bagi Tiga Serangkai yang sangat pemberani itu, yakni dibuang ke negeri Belanda selama 6 tahun (1913 -1919).

Di negeri pembuangannya, Ki Hadjar Dewantara tidak tinggal diam. Dimanfaatkan waktunya untuk bela­jar ilmu pendidikan hingga akhirnya ia mendapatkan Europeesche Akte (Akta Guru Eropa).

Sepulang dari pengasingannya, De­wantara ‘berkarier’ sebagai guru di sekolah yang didiri­kan Suryopranoto, kakak seayah namun berbeda ibu dengannya. Tanggal 3 Juli 1922 ia mendirikan sekolah yang diberinya nama Onderwijs Instituut (Perguruan Nasional Tamansiswa).

Penjajahan Belanda atas Indonesia berakhir keti­ka Belanda menyerah kalah kepada Jepang. Dimulailah era penjajahan Jepang atas Indonesia. Perguruan Nasional Tamansiswa mendapat hambatan besar dari Jepang sebagaimana sekolah-sekolah lain di Indonesia yang mengalami kemerosotan drastis selama pen­dudukan Jepang. Ketika itu Jepang menjadikan seko­lah dan perguruan sebagai tempat untuk indoktrinasi. Sebanyak 3.000 siswa Taman Dewasa (setingkat dengan SMA) dari Perguruan Nasional Tamansiswa dibubarkan oleh Jepang. Pemerintah Jepang hanya mengijinkan ‘beroperasinya’ Sekolah Kejuruan dalam perguruan yang didirikan Ki Hadjar Dewantara terse­but.

Ketika masa pendudukan Jepang itu Ki Hadjar Dewantara ditunjuk sebagai salah seorang dari empat orang yang terpilih menjadi anggota PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat). Tiga orang lainnya adalah Sukarno, Mohammad Hatta dan Mas Mansyur.

Ketika Jepang telah menunjukkan tanda-tanda kekalahannya dari pasukan Sekutu pada Perang Dunia II, sikapnya terhadap Indonesia mulai melunak. Pemerintah Jepang melalui Letnan Jenderal Kumakichi Harada mengumumkan terbentuknya Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesai (BPUPKI) dan setelah BPUPKI menyelesaikan tugasnya untuk menyusun rancangan Undang-Undang Dasar, dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Ki Hadjar Dewantara merupakan salah seorang dari enam orang anggota PPKI yang ditunjuk oleh Indonesia sendiri tanpa seijin pemerintah Jepang. Ki Hadjar Dewantara juga tercatat mempunyai andil dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan dalam Kabinet Pertama Republik Indonesia yang dibentuk pada tanggai 2 September 1945, Ki Hadjar Dewantara terpilih sebagai Menteri Pengajaran. Selain itu, sebagai peletak dasar pendidikan di Indonesia, Ki Hadjar Dewantara juga diangkat menjadi Panitia Penyelidik Pengajaran pada tahun 1946.

Bapak Pendidikan Nasional ini terus berkiprah dalam dunia pendidikan hingga wafat tanggal 26 April 1959 di Yogyakarta. Tak terkirakan besarnya jasa dan pengabdian Ki Hadjar Dewan tara bagi dunia pendidik­an di Indonesia. Selain menjadikan tanggal kelahiran­nya, 2 Mei, menjadi Hari Pendidikan Nasional, salah satu ‘semboyan’nya yang sangat terkenal 'Tutwuri Handayani' yang berarti 'di belakang mampu mem­berikan pengawasan serta dorongan untuk terus maju', dijadikan semboyan pendidikan nasional. Pemerintah Indonesia mengangkat Ki Hadjar Dewantara sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional pada tahun 1959. Jasad Bapak Pendidikan ini dimakam­kan di Pemakaman Wijayabrata, Yogyakarta.