Sebagai seorang aktivis, Nawal El Saadawi telah mengalami segalanya, la pernah menerima ancaman penjara, pengasingan, sampai kematian dalam perjuangannya melawan penindasan perempuan. Usia yang telah bertolak senja tidak menghentikan sepak terjangnya dalam memperjuangkan apa pun yang diyakini sebagai kebenaran. Bahkan, perempuan kelahiran 27 Oktober 1931 ini mengakui, usia membuatnya kian radikal dan terbakar amarah. Penulis feminis berdarah Mesir tersebut juga telah menulis banyak buku tentang isu perempuan dalam Islam, termasuk memberikan perhatian khusus terhadap praktik pemotongan alat kelamin perempuan di masyarakatnya.
Nawal El Saadawi adalah seorang tokoh perempuan Mesir terkemuka, sosiolog, dokter, dan penulis militan yang konsisten berbicara dalam isu-isu masalah wanita Arab atau kita lebih mengenalnya dengan sebutan feminis. Ia seorang penulis produktif terkenal di dunia, dan sudah banyak tulisannya yang menjadi inspirasi, baik di Timur maupun di Barat. Ia lebih suka menulis dalam bahasa Arab, dan tinggal di Mesir. Ia telah menulis lebih dari 40 buku fiksi dan nonfiksi. Ia merupakan salah satu penulis yang karyanya paling banyak diterjemahkan ke dalam dua belas bahasa dunia. Novel dan buku-bukunya tentang perempuan (feminisme) memiliki efek yang mendalam pada generasi ke generasi secara berturut-turut, baik perempuan maupun laki-laki selama lima dekade terakhir.
El Saadawi adalah anak tertua dari sembilan bersaudara. Ayahnya adalah seorang pejabat pemerintahan di Kementerian Pendidikan, yang telah berjuang melawan kekuasaan Raja dan Inggris dalam revolusi tahun 1919. Akibatnya, sang ayah diasingkan ke sebuah kota kecil di Delta Sungai Nil dan pemerintah tidak mempromosikan dirinya selama 10 tahun sebagai hukuman.
Sang ayah yang relatif progresif mengajarkan sang putri unituk menghormati diri sendiri dan menyuarakan pikirannya. Kematian orang tuanya di usia muda memaksa El Saadawi menjadi tulang punggung keluarga. Pada tahun 1955, El Saadawi lulus sebagai dokter dari Cairo University. Lewat
praktik medis yang dijalaninya, ia mengamati masalah fisik dan psikologis perempuan dan menghubungkan hal itu dengan praktik-praktik budaya yang menindas, penindasan patriarkat, penindasan kelas, dan penindasan imperialis.
Saat bekerja sebagai dokter di desa kelahirannya, Kafr Tahla, El Saadawi mengamati kesulitan dan kesenjangan yang dihadapi kaum perempuan pedesaan. Setelah mencoba melindungi satu pasiennya dari kekerasan dalam rumah tangga, ia dipanggil kembali ke Kairo. Pada tahun 1972, perempuan yang menikah tiga kali ini menerbitkan sebuah buku berjudul Al-Mar'a wa Al-Jins (Woman and Sex), untuk mengkonfrontasi dan mengontekstualisasikan berbagai agresi yang dilakukan terhadap tubuh perempuan, termasuk sunat perempuan. Buku itu sebagian berasal dari pengalamannya sendiri, yang menjalani mutilasi genital saat berusia enam tahun.
Woman and Sex segera menjadi teks dasar bagi gelombang feminisme kedua. Sebagai konsekuensi dari pempublikasian buku tersebut, El Saadawi dipecat dari posisinya sebagai direktur umum kesehatan masyarakat di Departemen Kesehatan. Meskipun demikian, dalam usianya yang nyaris mencapai 80 tahun, El Saadawi kembali turun ke jalan bersama gelombang massa rakyat Mesir dalam protes yang membawa akhir pemerintahan Presiden Mubarak. Hingga kini, perempuan yang pernah dipenjara di masa pemerintahan Presiden Anwar Sadat itu telah menerbitkan hampir 50 novel, drama, dan cerita pendek. Tulisannya mengambil isu-isu kontroversial, seperti prostitusi, kekerasan dalam rumah tangga, dan fundamentalisme agama.
Baru-baru ini, kritik El Saadawi terhadap agama patriarkat menyebabkan upaya hukum yang gagal untuk melucuti kebangsaannya serta mengandaskan pernikahannya.