Strategi utama Belanda hingga akhirnya dapat menjajah Indonesia biasanya dimulai dengan menciptakan suatu kemelut di suatu daerah, biasanya di tempat yang 'berhubungan' dengan tahta dan pemerintahan daerah. Dalam kemelut itu akan nampak orang-orang yang bisa diajaknya 'bekerja sama' dan orang-orang yang menentangnya. Kepada orang yang bisa diajaknya 'bekerja sama', Belanda akan membantunya dengan kekuatan bersenjata dan dengan kekuatan bersenjata itu pula Belanda akan menggempur orang-orang yang menentangnya. Sebagai imbalan atas bantuannya, Belanda akan meminta wilayah untuk sepenuhnya dikuasai. Orang yang dibantunya seketika akan menjadi bawahannya yang dapat diperkuda sekehendak hati. Kemudian Belanda akan menciptakan kemelut dan konflik baru dan mengulang kesanggupannya membantu orang yang bisa diajak 'bekerja sama' dan 'menghabisi' orang-orang yang menentangnya. Dengan cara 'sederhana' seperti itu wilayah kekuasaan Belanda makin luas. Orang-orang yang menjadi bawahannya akan semakin banyak. Tali pengendali kekuasaannya pada daerah itu akan makin kuat.
Strategi yang sangat sederhana itu terbukti ampuh di tanah Jawa. Kekuasaan dan kekuatan Mataram pada pemerintahan Sultan Agung yang sangat disegani itu menjadi lemah dan bahkan kemudian 'menghilang' setelah Mataram terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan 'kecil'. Sukses 'menggarap' Mataram, Belanda mulai melirik pulau terbesar di dunia, Kalimantan. Di Kesultanan Banjar (Banjarmasin) Belanda melihat ada 'celah-celah 'yang bisa untuk dimasuki dan digarapnya.
Pangeran Abdulrahman yang bertahta sebagai Sultan Banjar wafat. la mempunyai dua putra, Pangeran Hidayat dan Pangeran Tamjidillah, Pangeran Hidayat yang seharusnya menduduki tahta. la mendapat dukungan luas rakyat Banjar yang mencintainya karena perilaku dan budi pekertinya yang baik serta ketaatannya pada agama Islam.
Di satu sisi Belanda melihat Pangeran Tamjidillah yang juga berkehendak naik tahta sekalipun ia sesungguhnya tidak berhak. Rakyat Banjarjuga tidak menyukai sosok Tamjidillah. Belanda -tentu saja- menawarkan bantuan kepada pangeran Tamjidillah karena ada ‘imbalan besar’ di belakang bantuannya.
Pangeran Tamjidillah memang akhirnya naik tahta. Namun campur tangan Belanda dalam urusan Kesultanan Banjar itu membuat muak dan marah beberapa kerabat Kesultanan.
Merasa tidak bisa menerima keputusan Belanda yang sepilhak dan semena-mena itu pangeran Anom segera bertindak. la menggalang kekuatan untuk mengusir Belanda. Namun kekuatan serangan itu tidak terlalu merepotkan Kompeni Belanda. Tak berapa lama serangan itu dapat dipatahkan dan Pangeran Anom ditangkap serta diasingkan ke Bandung, Jawa Barat.
Pangeran Hidayat juga tidak tinggal diam, terlebih-lebih rakyat Banjar mendukungnya. la lalu menghimpun kekuatan sebelum akhirnya menyerang Kompeni Belanda. Serangan itu juga tidak terlalu merepotkan Belanda, segera dapat dipatahkan dan Pangeran Hidayat ditangkap. Penguasa sah tahta Kesultanan Banjar itu selanjutnya diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat.
Dua kali Belanda dapat dengan mudah mengalahkan penyerangan yang tertuju kepadanya. Namun tidak demikian halnya dengan penyerangan yang digalang dan dipimpin oleh seorang Pangeran di Kesultanan Banjar yang sungguh-sungguh bertekad bertempur hingga titik darah penghabisan melawan Belanda. Antasari nama pangeran Kesultanan Banjar tersebut.
Pangeran Antasari adalah putra Pangeran Mashud dan cucu pangeran Amir. Rakyat Banjar yang mencintai Pangeran Antasari kemudian mengangkatnya menjadi Sultan Banjar dengan gelar Panembahan Amruuddin Khalifatur Mukminin. Tanpa diduga Belanda sedikitpun, Pangeran Antasari ternyata lawan yang tidak mudah untuk ditaklukkannya.
Pangeran Antasari menggalang dan menghimpun kekuatan dengan kepala-kepala daerah. Beberapa tokoh-tokoh Banjar, semisal : Tumenggung Singapati, Kyai Adipati Mangkunegara, Demang Lehman, Kiai Serta Kara, Tumenggung Surapati, dan Cakrawati mendukung Pangeran Antasari. Mereka bersepakat bulat untuk mengangkat senjata mengusir Belanda yang jelas-jelas telah merusak dan menginjak-injak aturan, tata cara dan kehormatan Kesultanan Banjar.
Seruan Pangeran Antasari juga didengar dan dipatuhi rakyat Banjar. Tidak membutuhkan waktu yang lama, beribu-ribu orang telah berdiri di belakang Pangeran Antasari, siap mematuhi seruan Pangeran Antasari untuk mengusir pergi Belanda jauh-jauh dari Banjar.
Perang Banjar meletus pertama kali pada tanggal 18 April 1859. Dengan memimpin 6.000 orang, Pangeran Antasari memberikan seruan aba-aba penyerangannya. Belanda yang tidak menduga kekuatan itu bersiaga menghadapi serbuan rakyat Banjar. Belanda semakin tidak menduga, jumlah pasukan Pangeran Antasari terus bertambah-tambah. Kompeni Belanda benar-benar dibuat sangat repot menghadapi serangan rakyat Banjar yang bersatu padu di bawah komando pangeran Antasari itu.
Dalam salah satu serangan hebatnya, pasukan pimpinan Pangeran Antasari berhasil meledakkan serta menenggelamkan kapal Onrust milik Belanda beserta pemimpinnya, seperti Letnan Van der Velde dan Letnan Bangert. Belanda makin repot menghadapi pangeran Antasari berikut pasukannya.
Perang terus berkepanjangan. Bahkan area perperangan pun semakin meluas. Tidak hanya rakyat Banjar di Kalimantan Selatan saja, namun hampir keseluruhan Kalimantan Selatan dan juga Kalimantan Tengah turut bergabung di belakang Pangeran Antasari. Sekalipun Belanda telah mengerahkan kemampuan perang terbaiknya, mereka tetap kewalahan. Korban banyak berjatuhan di pihaknya dan kerugian akibat perang telah banyak dialaminya. Namun perang tidak menunjukkan tanda-tanda selesai.
Pangeran Antasari terus menggelorakan semangat bertempur. la tetap berkeinginan kuat melenyapkan bangsa asing yang berniat menjajah itu dari tanah Banjar. Kompeni Belanda yang sangat kewalahan menghadapi serbuan pasukan besar pimpinan Pangeran Antasari lantas menerapkan strategi perang 'kuno'-nya : berunding. Mereka menawarkan perundingan kepada Pangeran Antasari dan menjanjikan akan memberikan kemewahan dan kenikmatan hidup untuk Panseran Antasari. Namun Panembahan Amruuddin Khalifatur Mukminin yang gagah berani itu pintar membaca situasi. la menolak keras-keras perundingan yang ditawarkan Belanda. Sebagai ganti penolakannya, seruannya untuk mengusir Belanda malah semakin menggema.
Hingga suatu ketika di tengah-tengah berkecamuknya peperangan yang dahsyat, mendadak terdengar kabar duka di kubu rakyat Banjar. Pangeran Antasari yang gagah berani itu wafat. Bukan karena terkena peluru atau senjata tentara Belanda, melainkan oleh penyakit cacar yang ketika itu tengah mewabah.
Pangeran Antasari wafat di Bayan Begak, Kalimantan Selatan pada tanggal 11 Oktober 1862. Jasadnya kemudian dikebumikan di Banjarmasin.
Hingga akhir hidupnya tak sekalipun Pangeran Antasari dapat dikalahkan, ditangkap atau menyerah. Semangat bertempurnya terus bergelora tinggi, setinggi cita-citanya melenyapkan bangsa asing itu dari tanah air yang dicintainya. Semangat itu pulalah yang diwarisi putranya, Muhammad Seman, yang terus berjuang mengusir Belanda dari tanah air.
Atas jasa-jasanya yang besar bagi negara, Pemerintah Indonesia memberikan gelar Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan kepada Pangeran Antasari pada tahun 1968.