Dengan nama lengkap Mohammad Hatta, Bung Hatta dilahirkan pada 12 Agustus 1902 dari pasangan H. Mohammad Djamil dan Siti Saleha. Saat baru berusia 8 bulan, ayahnya meninggal dunia. Dari ibunya, Hatta mempunyai enam saudara perempuan. Meskipun bernama Mohammad Hatta, sewaktu kecil Bung Hatta kerapkali dipanggil dengan sebutan Mohammad Athar. Panggilan "Bung Hatta" kemudian melekat padanya pada masa-masa perjuangan. Bukan asal nama, panggilan tersebut mempunyai makna "saudara seperjuangan".
Tempat kelahiran Bung Hatta ada di Bukit Tinggi, Sumatra Barat. Di rumah ini Bung Hatta menghabiskan separuh masa kecilnya, hingga ia berusia 11 tahun. Rumah kelahiran Bung Hatta menyimpan banyak sejarah, karena di sanalah masa kecil Bung Hatta terekam, terhitung sejak 1902 sampai 1913.
Saat ini, untuk mengenang tokoh proklamator tersebut, tempat tinggal Bung Hatta dijadikan tempat wisata yang bisa dikunjungi oleh siapapun. Rumah tersebut sengaja direkonstruksi supaya bisa dijadikan tempat mengenang perjuangan Bung Hatta, yang juga terkenal dengan sebutan Bapak Bangsa. Pada awalnya, rumah Bung Hatta tersebut sebenarnya sudah runtuh, namun berkat gagasan Ketua Yayasan Pendidikan Bung Hatta, rumah tersebut dibangun ulang guna menjadi bahan pengingat masa kecil Bung Hatta. Pada 12 Agustus 1995, bertepatan dengan hari lahir Bung Hatta dan saat Indonesia memasuki usianya yang ke-50, rumah tersebut diresmikan.
Tata letak rumah tersebut sengaja dibuat sama dengan sebelum direkonstruksi. Konstruksi bangunan rumah itu terdiri dari bangunan utama, paviliun, lumbung padi, dapur, kandang kuda, serta kolam ikan. Bangunan utama berfungsi untuk menerima tamu, ruang makan keluarga, dan juga digunakan sebagai kamar ibu, paman, dan kakek Bung Hatta. Sedangkan paviliun berfungsi sebagai kamar tidur Bung Hatta.
Mengingat rumah kelahiran Bung Hatta sama halnya dengan mengingat Bung Hatta itu sendiri. Sebab, di rumah tersebut karakter kuat Bung Hatta mulai terbentuk. Di rumah itu, ia tinggal bersama kakeknya bernama H. Marah atau yang dikenal dengan sebutan Pak Gaek. Ialah orang yang mengajari Bung Hatta untuk disiplin kerja, bersikap sederhada dan penuh kasih sayang kepada sesama. H. Marah sendiri memang tipe orang yang gigih dan pekerja keras. Pekerjaannya di dunia pos mengharuskan ia bersikap teliti, disiplin, dan tepat waktu.
Sikap sederhana Bung Hatta masih diterapkan hingga ia menjadi orang besar di negeri ini. Salah satu cerita mengharukan dari Bung Hatta yang sampai saat ini masih dikenang adalah kisah tentang sepatu Bally. Pada tahun 1950-an, Bally menjadi merek sepatu berkualitas. Harganya pun cukup mahal. Saat masih menjabat sebagai wakil presiden, Bung Hatta pernah ingin sekali mempunyai sepatu Bally. Karena belum bisa membeli Bally dalam waktu dekat, ia menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya. Ia menabung supaya bisa membeli sepatu Bally.
Tidak seperti apa yang diinginkan, ternyata uang tabungan yang dikumpulkannya tak pernah cukup untuk membeli sepatu Bally. Hal Itu karena uangnya seringkali digunakan untuk keperluan rumah tangga atau membantu orang-orang yang datang kepadanya guna meminta pertolongan. Mau gak mau Bung Hatta harus merelakan keinginannya tersebut
Saat menginjak remaja, Bung Hatta mengikuti adat Minang yang harus tinggal di kamar terpisah dengan rumah induk dan menginap di sebuah mesjid kecil yang berjarak beberapa kilometer dari rumah tersebut Jika demikian, berarti bangunan paviliun yang ada di rumah Bung Hatta tersebut memang sengaja dibangun sebagai rumahnya tinggal. Tujuannya adalah untuk menuntut ilmu agama dan adat Ternyata, pola didikan tersebut yang berhasil membawa kesederhanaan dan sikap jujur pada diri Bung Hatta.
Pendidikan dasar Bung Hatta ditempuh di Europese Lageree School (ELS) Bukittinggi. Setelah tamat, ia melanjutkan sekolah menengahnya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Kota Padang. Pendidikan tingginya ditempuh di Prins Hendrik School (PHS) Batavia, nama ibukota sebelum menjadi Jakarta. Setelah itu, ia melanjutkan studinya ke luar negeri, tepatnya di Handels Hooge School, yakni sebuah sekolah dagang di Rotterdam, Belanda dari tahun 1921-1932.
Di usia remajanya, Bung Hatta aktif di berbagai organisasi. Dari berbagai organisasi inilah Bung Hatta mulai berkecimpung di dunia politik. Saat sekolah, Bung Hatta bersama teman-temannya mendirikan Jong Sumateranen Bond di dua kota, yakni Padang dan Batavia. Ia juga mendirikan Perhimpunan Indonesia di Belanda. Sekembalinya dari luar negeri, ia bergabung dengan organisasi Pendidikan Nasianal Indonesia (PNI). Organisasi tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesadaran rakyat Indonesia dalam dunia politik. Langkah yang ditempuh adalah dengan cara memberikan pelatihan-pelatihan kepada warga.
Oleh pemerintah Belanda, langkah Bung Hatta dan teman-teman perjuangannya saat itu dianggap terlalu berani. Kegigihan tersebut berimbas pada penangkapannya oleh aparat Belanda. Bung Hatta dan beberapa anggota PNI lainnya, termasuk Syahrir ditangkap dan diasingkan ke Boven Digoel, Papua. Namun begitu, Bung Hatta tidak lantas menyerah.
Di pembuangan tersebut ia tetap melakukan perjuangan dengan menulis artikel dan opini yang diterbitkan di surat kabar 'Pemandangan'. Di pembuangan itu pula, ia menghabiskan waktunya dengan banyak membaca buku-buku yang berjumlah 16 peti yang dibawanya dari Batavia. Ia juga mengajari dan berdiskusi dengan teman-temannya mengenai dunia ekonomi, filsafat, politik, dan lain-lain.
Tidak berhenti di situ, pada Januari 1936 Hatta dan Syahrir harus dibuang ke tempat pengasingan yang baru, yakni ke Banda Neira. Di tempat pembuangan baru tersebut, keduanya dapat bergaul bebas dengan penduduk dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, tata buku, politik, dan lain-lain. Pada 3 Pebruari 1942, keduanya dibawa ke Sukabumi. Kemudian pada 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang dan pada 22 Maret 1942 Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta.
Tahun 1945, sehari setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, Bung Hatta secara aklamasi diangkat sebagai wakil presiden pertama RI mendampingi Bung Karno. Pada masa kepemimpinan tersebut, beberapa perundingan berhasil dilaksanakan, yakni Linggadjati, Renville, dan Roem-Royen. Bung Hatta menjadi wakil dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda di mana berkat perundingan tersebut, Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
Sebagai wakil presiden, Bung Hatta kerap kali bersebrangan pendapat dengan Bung Karno. Perselisihan di antara keduanya juga sering terjadi pada waktu Indonesia belum merdeka. Menurut Bung Karno, Indonesia harus menjadi bangsa yang berani, revolusioner, dan penuh semangat untuk meraih kemerdekaan. Sedangkan, Bung Hatta berpendapat bahwa untuk menyongsong kemerdekaan, bangsa Indonesia harus dicerdaskan dan diberi pencerahan.
Di beberapa perselisihan, Bung Hatta seringkali mengalah dan menyetujui usulan Bung Karno. Salah satu peristiwa yang masih bisa diingat adalah mundurnya Bung Hatta dari jabatannya karena perselisihan pendapat dengan Bung Karno. Pada 1 Desember 1956, saat Bung Hatta berusia 77 tahun, ia menganggap Bung Karno sudah kekiri-kirian, terlebih saat Bung Karno mencetuskan ide Nasakom yang tidak disetujuinya. Ia pun mundur dari jabatannya sebagai wakil presiden.
Kendati demikian, hubungan pertemanan antara Bung Hatta dan Bung Karno tak lantas berubah. Keduanya masih berhubungan baik. Bung Hatta bahkan melakukan kerja sama yang kritis terhadap Bung Karno (critical cooperation). Terkadang, Bung Hatta juga memberikan masukan dengan cara menulis surat atau menelepon. Kadang juga ia datang langsung ke Istana.
Ketika Bung Karno jatuh sakit, Bung Hatta tetap memberikan perhatian pada Bung Karno. Di tahun 1969, setelah G30S/PKI terjadi, Bung Karno pernah sakit dan harus dirawat di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta. Ketika itu Bung Hatta bersikeras menjenguk Bung Karno, padahal tak satu pun pejabat atau tokoh lain mau menjenguknya.
Salah satu pemikiran Bung Hatta yang sampai saat ini masih bisa dinikmati bangsa ini adalah adanya koperasi, yang merupakan realisasi konsep pemikirannya mengenai demokrasi ekonomi. Karena pemikirannya tersebut, Hatta mendapat predikat sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Berbeda dengan beberapa tokoh lainnya yang suka mengagungkan pemikiran Barat, Bung Hatta menilai bahwa pemikiran Barat tak selamanya tepat diterapkan di Indonesia. Salah satunya adalah Bung Hatta menolak mengikuti demokrasi liberal sebagaimana yang telah berkembang di Barat. Ia menilai bahwa demokrasi liberal yang diterapkan melalui revolusi Perancis pada abad ke-18 telah membawa masyarakat Perancis hanya pada demokrasi politik, yang pada tingkat tertentu hanya menguntungkan masyarakat kelas atas dan mengesampingkan rakyat jelata atau menengah ke bawah.
Demokrasi seperti itu menurut Hatta, tidak sesuai dengan cita-cita perjuangan bangsa Indonesia yang menghendaki terwujudnya perikemanusiaan dan keadilan sosial. Oleh karena pemikiran tersebut menjadikan koperasi sebagai tonggak perekonomian nasional serta mengikutsertakan semua pihak yang memiliki kepentingan dalam lapangan koperasi, termasuk para pekerja dan konsumen koperasi untuk turut bergabung menjadi anggota koperasi adalah langkah tepat untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia.
Sebagai sosok dengan catatan karir mengagumkan, tentu saja akan sangat mudah bagi Bung Hatta untuk mendapatkan pendamping hidup. Ia pintar. Kepribadiannya juga luar biasa. Ditambah jabatan- jabatan yang diembannya, tentu saja cukup bisa dijadikan bukti bahwa Bung Hatta punya perjalanan karir yang baik. Namun begitu dalam urusan asmara, Bung Hatta malah sedikit "terlambat". Bung Hatta baru menikah saat usianya menginjak empat puluh tahun. Itupun melalui proses perjodohan. Bung Karno sendiri yang memilihkan calon istri untuk Bung Hatta.
Perempuan yang dipilihnya itu bernama Rahmi. Saat dalam proses perjodohan itu, Rahmi baru berusia sembilan belas tahun, sedangkan Bung Hatta sudah berusia empat puluh tahun. Selisih usia yang terbilang jauh itulah yang membuat Rahmi sedikit bingung menentukan pilihan, apakah hendak menerimanya atau tidak. Ibunda Rahmi pun menyerahkan keputusan tersebut sepenuhnya pada Rahmi, "Mas Karno, mengenai soal lamaran ini, saya harus menanyakan kepada anak saya dulu. Dia sudah berusia 19 tahun, sehingga sudah saya anggap dewasa untuk memutuskan jalan hidupnya”.
Mengetahui jika Rahmi ragu pada Bung Hatta, Bung Karno pun meyakinkan Rahmi bahwa Bung Hatta adalah orang yang baik untuk dijadikan pendamping hidup. Selain itu, Rahmi juga takut hendak diperistri oleh tokoh besar. Ia merasa tak pantas karena selain berasal dari kalangan biasa, Rahmi juga merasa tingkat intelektualnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan Bung Hatta. Oleh karena itu, Bung Karno pun kembali meyakinkan Rahmi bahwa Bung Hatta adalah seorang yang baik dan tidak mempermasalahkan apa yang menjadi kekhawatiran Rahmi. “Tidak apa-apa, pokoknya dia orang baik, dia pemimpin yang baik, dan dia sahabat saya yang baik. Kamu tidak akan kecewa sebab Hatta adalah orang yang berbudi luhur, dan mempunyai prinsip yang tegas.”
Mendengar ucapan Bung Karno tersebut, Rahmi akhirnya bersedia menerima lamaran dari Bung Hatta.
Tata letak rumah tersebut sengaja dibuat sama dengan sebelum direkonstruksi. Konstruksi bangunan rumah itu terdiri dari bangunan utama, paviliun, lumbung padi, dapur, kandang kuda, serta kolam ikan. Bangunan utama berfungsi untuk menerima tamu, ruang makan keluarga, dan juga digunakan sebagai kamar ibu, paman, dan kakek Bung Hatta. Sedangkan paviliun berfungsi sebagai kamar tidur Bung Hatta.
Mengingat rumah kelahiran Bung Hatta sama halnya dengan mengingat Bung Hatta itu sendiri. Sebab, di rumah tersebut karakter kuat Bung Hatta mulai terbentuk. Di rumah itu, ia tinggal bersama kakeknya bernama H. Marah atau yang dikenal dengan sebutan Pak Gaek. Ialah orang yang mengajari Bung Hatta untuk disiplin kerja, bersikap sederhada dan penuh kasih sayang kepada sesama. H. Marah sendiri memang tipe orang yang gigih dan pekerja keras. Pekerjaannya di dunia pos mengharuskan ia bersikap teliti, disiplin, dan tepat waktu.
Sikap sederhana Bung Hatta masih diterapkan hingga ia menjadi orang besar di negeri ini. Salah satu cerita mengharukan dari Bung Hatta yang sampai saat ini masih dikenang adalah kisah tentang sepatu Bally. Pada tahun 1950-an, Bally menjadi merek sepatu berkualitas. Harganya pun cukup mahal. Saat masih menjabat sebagai wakil presiden, Bung Hatta pernah ingin sekali mempunyai sepatu Bally. Karena belum bisa membeli Bally dalam waktu dekat, ia menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya. Ia menabung supaya bisa membeli sepatu Bally.
Tidak seperti apa yang diinginkan, ternyata uang tabungan yang dikumpulkannya tak pernah cukup untuk membeli sepatu Bally. Hal Itu karena uangnya seringkali digunakan untuk keperluan rumah tangga atau membantu orang-orang yang datang kepadanya guna meminta pertolongan. Mau gak mau Bung Hatta harus merelakan keinginannya tersebut
Saat menginjak remaja, Bung Hatta mengikuti adat Minang yang harus tinggal di kamar terpisah dengan rumah induk dan menginap di sebuah mesjid kecil yang berjarak beberapa kilometer dari rumah tersebut Jika demikian, berarti bangunan paviliun yang ada di rumah Bung Hatta tersebut memang sengaja dibangun sebagai rumahnya tinggal. Tujuannya adalah untuk menuntut ilmu agama dan adat Ternyata, pola didikan tersebut yang berhasil membawa kesederhanaan dan sikap jujur pada diri Bung Hatta.
Pendidikan dasar Bung Hatta ditempuh di Europese Lageree School (ELS) Bukittinggi. Setelah tamat, ia melanjutkan sekolah menengahnya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Kota Padang. Pendidikan tingginya ditempuh di Prins Hendrik School (PHS) Batavia, nama ibukota sebelum menjadi Jakarta. Setelah itu, ia melanjutkan studinya ke luar negeri, tepatnya di Handels Hooge School, yakni sebuah sekolah dagang di Rotterdam, Belanda dari tahun 1921-1932.
Di usia remajanya, Bung Hatta aktif di berbagai organisasi. Dari berbagai organisasi inilah Bung Hatta mulai berkecimpung di dunia politik. Saat sekolah, Bung Hatta bersama teman-temannya mendirikan Jong Sumateranen Bond di dua kota, yakni Padang dan Batavia. Ia juga mendirikan Perhimpunan Indonesia di Belanda. Sekembalinya dari luar negeri, ia bergabung dengan organisasi Pendidikan Nasianal Indonesia (PNI). Organisasi tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesadaran rakyat Indonesia dalam dunia politik. Langkah yang ditempuh adalah dengan cara memberikan pelatihan-pelatihan kepada warga.
Oleh pemerintah Belanda, langkah Bung Hatta dan teman-teman perjuangannya saat itu dianggap terlalu berani. Kegigihan tersebut berimbas pada penangkapannya oleh aparat Belanda. Bung Hatta dan beberapa anggota PNI lainnya, termasuk Syahrir ditangkap dan diasingkan ke Boven Digoel, Papua. Namun begitu, Bung Hatta tidak lantas menyerah.
Di pembuangan tersebut ia tetap melakukan perjuangan dengan menulis artikel dan opini yang diterbitkan di surat kabar 'Pemandangan'. Di pembuangan itu pula, ia menghabiskan waktunya dengan banyak membaca buku-buku yang berjumlah 16 peti yang dibawanya dari Batavia. Ia juga mengajari dan berdiskusi dengan teman-temannya mengenai dunia ekonomi, filsafat, politik, dan lain-lain.
Tidak berhenti di situ, pada Januari 1936 Hatta dan Syahrir harus dibuang ke tempat pengasingan yang baru, yakni ke Banda Neira. Di tempat pembuangan baru tersebut, keduanya dapat bergaul bebas dengan penduduk dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, tata buku, politik, dan lain-lain. Pada 3 Pebruari 1942, keduanya dibawa ke Sukabumi. Kemudian pada 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang dan pada 22 Maret 1942 Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta.
Tahun 1945, sehari setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, Bung Hatta secara aklamasi diangkat sebagai wakil presiden pertama RI mendampingi Bung Karno. Pada masa kepemimpinan tersebut, beberapa perundingan berhasil dilaksanakan, yakni Linggadjati, Renville, dan Roem-Royen. Bung Hatta menjadi wakil dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda di mana berkat perundingan tersebut, Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
Sebagai wakil presiden, Bung Hatta kerap kali bersebrangan pendapat dengan Bung Karno. Perselisihan di antara keduanya juga sering terjadi pada waktu Indonesia belum merdeka. Menurut Bung Karno, Indonesia harus menjadi bangsa yang berani, revolusioner, dan penuh semangat untuk meraih kemerdekaan. Sedangkan, Bung Hatta berpendapat bahwa untuk menyongsong kemerdekaan, bangsa Indonesia harus dicerdaskan dan diberi pencerahan.
Di beberapa perselisihan, Bung Hatta seringkali mengalah dan menyetujui usulan Bung Karno. Salah satu peristiwa yang masih bisa diingat adalah mundurnya Bung Hatta dari jabatannya karena perselisihan pendapat dengan Bung Karno. Pada 1 Desember 1956, saat Bung Hatta berusia 77 tahun, ia menganggap Bung Karno sudah kekiri-kirian, terlebih saat Bung Karno mencetuskan ide Nasakom yang tidak disetujuinya. Ia pun mundur dari jabatannya sebagai wakil presiden.
Kendati demikian, hubungan pertemanan antara Bung Hatta dan Bung Karno tak lantas berubah. Keduanya masih berhubungan baik. Bung Hatta bahkan melakukan kerja sama yang kritis terhadap Bung Karno (critical cooperation). Terkadang, Bung Hatta juga memberikan masukan dengan cara menulis surat atau menelepon. Kadang juga ia datang langsung ke Istana.
Ketika Bung Karno jatuh sakit, Bung Hatta tetap memberikan perhatian pada Bung Karno. Di tahun 1969, setelah G30S/PKI terjadi, Bung Karno pernah sakit dan harus dirawat di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta. Ketika itu Bung Hatta bersikeras menjenguk Bung Karno, padahal tak satu pun pejabat atau tokoh lain mau menjenguknya.
Salah satu pemikiran Bung Hatta yang sampai saat ini masih bisa dinikmati bangsa ini adalah adanya koperasi, yang merupakan realisasi konsep pemikirannya mengenai demokrasi ekonomi. Karena pemikirannya tersebut, Hatta mendapat predikat sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Berbeda dengan beberapa tokoh lainnya yang suka mengagungkan pemikiran Barat, Bung Hatta menilai bahwa pemikiran Barat tak selamanya tepat diterapkan di Indonesia. Salah satunya adalah Bung Hatta menolak mengikuti demokrasi liberal sebagaimana yang telah berkembang di Barat. Ia menilai bahwa demokrasi liberal yang diterapkan melalui revolusi Perancis pada abad ke-18 telah membawa masyarakat Perancis hanya pada demokrasi politik, yang pada tingkat tertentu hanya menguntungkan masyarakat kelas atas dan mengesampingkan rakyat jelata atau menengah ke bawah.
Demokrasi seperti itu menurut Hatta, tidak sesuai dengan cita-cita perjuangan bangsa Indonesia yang menghendaki terwujudnya perikemanusiaan dan keadilan sosial. Oleh karena pemikiran tersebut menjadikan koperasi sebagai tonggak perekonomian nasional serta mengikutsertakan semua pihak yang memiliki kepentingan dalam lapangan koperasi, termasuk para pekerja dan konsumen koperasi untuk turut bergabung menjadi anggota koperasi adalah langkah tepat untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia.
Sebagai sosok dengan catatan karir mengagumkan, tentu saja akan sangat mudah bagi Bung Hatta untuk mendapatkan pendamping hidup. Ia pintar. Kepribadiannya juga luar biasa. Ditambah jabatan- jabatan yang diembannya, tentu saja cukup bisa dijadikan bukti bahwa Bung Hatta punya perjalanan karir yang baik. Namun begitu dalam urusan asmara, Bung Hatta malah sedikit "terlambat". Bung Hatta baru menikah saat usianya menginjak empat puluh tahun. Itupun melalui proses perjodohan. Bung Karno sendiri yang memilihkan calon istri untuk Bung Hatta.
Perempuan yang dipilihnya itu bernama Rahmi. Saat dalam proses perjodohan itu, Rahmi baru berusia sembilan belas tahun, sedangkan Bung Hatta sudah berusia empat puluh tahun. Selisih usia yang terbilang jauh itulah yang membuat Rahmi sedikit bingung menentukan pilihan, apakah hendak menerimanya atau tidak. Ibunda Rahmi pun menyerahkan keputusan tersebut sepenuhnya pada Rahmi, "Mas Karno, mengenai soal lamaran ini, saya harus menanyakan kepada anak saya dulu. Dia sudah berusia 19 tahun, sehingga sudah saya anggap dewasa untuk memutuskan jalan hidupnya”.
Mengetahui jika Rahmi ragu pada Bung Hatta, Bung Karno pun meyakinkan Rahmi bahwa Bung Hatta adalah orang yang baik untuk dijadikan pendamping hidup. Selain itu, Rahmi juga takut hendak diperistri oleh tokoh besar. Ia merasa tak pantas karena selain berasal dari kalangan biasa, Rahmi juga merasa tingkat intelektualnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan Bung Hatta. Oleh karena itu, Bung Karno pun kembali meyakinkan Rahmi bahwa Bung Hatta adalah seorang yang baik dan tidak mempermasalahkan apa yang menjadi kekhawatiran Rahmi. “Tidak apa-apa, pokoknya dia orang baik, dia pemimpin yang baik, dan dia sahabat saya yang baik. Kamu tidak akan kecewa sebab Hatta adalah orang yang berbudi luhur, dan mempunyai prinsip yang tegas.”
Mendengar ucapan Bung Karno tersebut, Rahmi akhirnya bersedia menerima lamaran dari Bung Hatta.
Dengan disetujuinya perjodohan tersebut, maka cita-cita Bung Hatta untuk menikah setelah Indonesia merdeka pun tercapai. Bung Hatta menikah di usia 42 tahun dengan Rahmi Rachim. Dari pernikahannya tersebut. Bung Hatta dikaruniai tiga putri, yakni Meutia Hatta. Gemala Hatta, dan Halida Hatta.
Sebagai bapak bangsa. Bung Hatta telah mendapatkan banyak penghargaan. Pada 27 November 1956, ia memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta. Pada kesempatan itu. Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan yang berjudul “Lampau dan Datang".
Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas Indonesia juga memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum.
Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung Hatta anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi "Bintang Republik Indonesia Kelas I" pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara.
Pada 14 Maret 1980, Bung Hatta wafat dan dimakamkan di Pemakaman Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Wafatnya Bung Hatta meninggalkan duka bagi bangsa Indonesia. Sebab, Indonesia tidak hanya kehilangan tokoh proklamator, melainkan bapak bangsa yang berjasa dan berbakti besar pada bangsa Indonesia. Lebih dari itu, bangsa Indonesia telah kehilangan sosok yang bijak, jujur, dan sederhana.
Maka itu, tidak berlebihan jika pada wafatnya Bung Hatta, Iwan Fals menuliskan lirik lagu yang bernuansa haru, yang ketika diperdengarkan seakan kita ikut hanyut ke dalamnya.
Hujan air mata dari pelosok negeri, Saat melepas engkau pergi
Berjuta kepala tertunduk haru, Terlintas nama seorang sahabat
Yang tak lepas dari namamu
Terbayang baktimu, terbayang jasamu
Terbayang jelas jiwa sederhanamu
Bernisan bangga, berkapal doa
Dari kami yang merindukan orang Sepertimu