Ia adalah salah seorang ulama besar Indonesia. Ia dikenal amat teguh kukuh memegang Islam. Sikapnya keras dan kuat dalam menghadapi penjajah, baik Belanda maupun Jepang, la tidak gentar untuk menyuarakan kebenaran sekalipun di hadapan penjajah Jepang yang sangat terkenal dengan kekejamannya pada sosok-sosok penentang mereka. Membungkukkan badan secara berlebihan untuk menghormati Kaisar Jepang, sangat ditentangnya karena itu perbuatan syirik dan jelas haram hukumnya dalam Islam. Jepang kemudian menangkap dan memenjarakannya. Namun tak berapa lama la dibebaskan kembali dengan tambahan permintaan maaf Jepang kepada umat muslim Indonesia atas 'keberanian' mereka menangkap dan menahan ulama besar Indonesia itu. la adalah Kyai Haji Hasyim Asy’ari.
Hasyim Asy’ari dilahirkan di Pondok Ngedang, Jombang, Jawa Timur, pada tanggal 14 Februari 1871. Ia mendapat didikan keagamaan langsung dari ayah dan kakeknya yang kesemuanya pemimpin pondok pesantren. Dalam kondisi lingkungan keagamaan yang kuat itu HasyimAsy’ari kecil tumbuh menjadi anak yang saleh dan taat menjalankan syariat agama, la juga dikenal cerdas hingga ketika berumur 13 tahun Hasyim Asy’ari telah dapat memberikan pelajaran keagamaan kepada teman-temannya.
Pada tahun 1896, Hasyim Asy’ari berangkat menunaikan rukun Islam ke-5 sekaligus memperdalam ilmu agamanya. Selama 7 tahun ia berada di Mekkah dan sekembalinya ia dari Tanah Suci, Hasyim Asy’ari turut mengajar di Pesantren di Cikunir, Jombang, milik kakeknya. Sebelas tahun kemudian, 1907. K.H, Hasyim Asy’ari mendirikan pondok pesantren di Tebu Ireng, Jombang. Pendirian pesantren ini menimbulkan kecaman dari orang-orang tertentu yang menyebutnya memberikan pengajaran bid’ah. K.H. Hasyim Asy’ari menghadapi semua kecaman itu dengan lapang dada dan tetap maju untuk meneruskan dakwahnya. la tidak balas mengecam kepada para pengecamnya atau memusuhi orang-orang yang memusuhinya karena ia sangat menginginkan persatuan dan kesatuan yang menurutnya itulah keutamaan yang paling besar (a'dhamul fadhaail).
K.H. Hasyim Asy’ari adalah tokoh dalam pembentukan organisasi Nahdatul Ulama (NU) pada bulan Januari 1926. Ketika itu K.H. Hasyim Asy'ari dipilih sebagai Rois Akbar. Seperti halnya pendirian Pondok Pesantren Tebu Ireng, pendirian NU ini juga mendapat kecaman dari orang-orang tertentu. K.H. Hasyim Asy’ari tidak terlalu menanggapi kecaman tersebut namun malah menganjurkan perlunya umat Islam di Indonesia, apapun juga latar belakang organisasinya, untuk bersatu padu guna melawan penjajah Belanda. Pemerintah kolonial Belanda itulah musuh yang sesungguhnya dan bukan sesama umat Islam yang harus bermusuhan karena berbeda pendapat, seperti masalah ijtihad, taqlid, mazhab, dan lain-lainnya.
Sejak semula, ulama besar ini menunjukkan sikap perlawanannya kepada pemerintah kolonial Belanda. Ia sangat menentang kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang menarik wewenang pengadilan agama dan memberlakukan hukum adat di Jawa, Madura, dan Kalimantan Selatan pada tahun 1931. Menurutnya, kebijakan pemerintah kolonial tersebut akan mengikis kedaulatan kaum Muslim mengingat syariat Islam banyak dituangkan di dalam pengadilan agama.
Gagasan perlunya umat Islam di Indonesia bersatu menjadi terwujud ketika pada tanggal 25 September 1937 terbentuk Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) di Surabaya. MIAI merupakan gabungan organisasi-organisasi Islam besar di Indonesia, seperti : NU, Muhammadiyah, Persatuan Ulama Indonesia (PUI), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), dan lain-lainnya. MIAI kemudian lebih aktif menentang pemerintah kolonial Belanda bersama-sama dengan Gabungan Politik Indonesia (GAPI).
Ketika Jepang menduduki Indonesia, sikap perlawanan yang ditunjukkan K.H. Hasyim Asy’ari tidak juga mengendur. Namun demikian dalam masa pendudukan Jepang itu NU bersifat lebih koorporatif dengan membubarkan MIAI dan membentuk Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi). Karena ketokohan dan ketinggian ilmunya. Pemerintah pendudukan Jepang pada tahun 1944 menunjuk K.H. Hasyim Asy’ari menjadi Ketua Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) bentukan Jepang.
K.H. Hasyim Asy’ari, ulama kharismatik yang selama hidupnya menunjukkan penentangannya pada penjajah serta menginginkan bersatunya umat Islam di Indonesia untuk menentang penjajah itu wafat pada tanggal 25 Juli 1947. Jenazahnya dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang. Pemerintah mengangkatnya sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional pada tahun 1964.