Tan Malaka, Penggagas Berdirinya Republik Indonesia

Selamat Datang di Blog Materi IPA. Judul Postingan Kali ini tentang Tan Malaka, Penggagas Berdirinya Republik Indonesia. Semoga bermanfaat untuk dibaca.
Perjuangan politik Tan Malaka lebih diwarnai pembangkangan terhadap penguasa. Demikian juga, kehidupannya bahkan lebih terkenal dari penjara ke penjara. Ketika zaman imperialisme Belanda, ia harus mendekam di penjara. Ketika Jepang berkuasa, ia dipenjara. Bahkan, ketika Indonesia telah merdeka pun Tan Malaka dipenjara, la selalu menjadi pembangkang penguasa. Perjuangannya tidak pernah diakhiri dengan suatu jabatan publik. Nyaris tanpa pamrih. "Siapa ingin merdeka, harus berani di penjara teriaknya. Bahkan, ketika telah mati pun, Tan Malaka harus menjadi nama yang terpenjara.

Tan Malaka merupakan tokoh yang pertama menulis gagasan berdirinya Republik Indonesia mendahului M. Hatta maupun Soekarno, melalui bukunya yang berjudul 'Naar de Republiek Indonesia' (Menuju Republik Indonesia) pada tahun 1925. Semasa hidup, Tan Malaka lebih banyak menghabiskan waktunya dengan melanglang buana ke berbagai negara untuk suatu perjuangan, yaitu mencari dukungan ke­merdekaan bagi Indonesia. Oleh karena itu, ia memiliki banyak nama samaran dan tak luput dari kejaran Intel Cina, Amerika, Belanda, dan lain sebagainya, serta beberapa kali mendekam di penjara. Ketika proklamasi, Tan Malaka juga memiliki andil dalam menggerakkan massa dan para pemuda ke rapat raksasa di lapangan Ikada pada tanggal 19 September 1945, yang merupakan rapat untuk menunjukkan dukungan massa pertama terhadap Proklamasi Kemerdekaan.

Dibandingkan dengan tokoh-tokoh bangsa yang telah mendapatkan gelar Pahlawan Nasional, nama Tan Malaka memang kalah populer di masyarakat. Hal itu terjadi karena pada masa Orde Baru, sejarah Tan Malaka memang tidak pernah muncul ke permukaan disebabkan oleh ideologi kiri yang diusungnya. Namun setelah tumbangnya Orde Baru serta seiring berkembangnya pelurusan dan pengungkapan sejarah bangsa yang lebih proporsional, sejarah Tan Malaka kembali menjadi kajian yang cukup menarik bagi masyarakat peminat sejarah.


Sutan Ibrahim adalah nama asli Tan Malaka, ia dilahirkan di Payakumbuh, Sumatera Barat, pada tanggal 19 Februari 1898. Tradisi Minang telah memberikan gelar Datuk Tan Malaka kepadanya sebelum bertolak ke negeri Belanda untuk menimba ilmu. Di Belanda, Tan Malaka dikenal sebagai pelahap buku yang gila, la rela berutang dan tidak makan hanya untuk membeli buku. Akibatnya, ia sering sakit-sakitan karena lebih mementingkan makanan otak daripada tubuhnya.

Sepanjang hidupnya, Tan Malaka konsisten mengkritik pemerintah kolonial Belanda maupun pemerintah Republik Indonesia di bawah pimpinan Soekarno. Tan Malaka menulis sebuah catatan hidupnya ketika dipenjara pada masa pemerintahan Soekarno. Buku yang ditulisnya itu diberi judul 'Dari Penjara ke Penjara'. Buku itu berisi pengalaman panjang Tan Malaka sejak masa Kolonial Belanda hingga masa-masa Revolusi di Indonesia. Berdasar judulnya, sudah dapat ditebak bahwa hidup Tan Malaka tak jauh dari penjara dan pengasingan. Namun, baginya, penjara dan pengasingan tidak mampu menyurutkan semangat perjuangannya, tetap menulis, dan menyebarkan pemikirannya.

Dalam bidang pendidikan pun, Tan Malaka sangat peduli. Terbukti, setelah kembali dari belajar sekolah guru di Belanda, ia menjadi guru dan mendirikan sekolah rakyat bersama organisasi Sarekat Islam. Sekolah yang ia dirikan diperuntukkan bagi anak kaum kuli, buruh kontrak yang merupakan golongan mayoritas. Menurutnya, pendidikan itu sangat penting karena bertujuan mempertajam kecerdasan, memperkokoh kemauan, dan memperhalus perasaan.

Selain melakukan pergerakan di luar maupun dalam negeri, Tan Malaka juga seorang penulis. Banyak sekali karya tulis yang dihasilkannya. Di antara karya tulisnya yang terkenal berjudul 'Madilog, Naar de Republiek Indonesia', maupun 'Massa Actie', yang telah menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan Indonesia, seperti Sayuti Melik, Soekarno, Adam Malik, WR. Supratman, dan lain-lain.

Tan Malaka memang seorang Marxisisme, namun ia juga seorang nasionalis. Dalam Kongres Komunis Internasional di Moskow pada tahun 1922, ia melawan arus, la mengatakan gerakan komunisme tidak akan berhasil mengusir kolonialisme jika tidak bekerja sama dengan Pan Islamisme. Di kalangan Partai Komunis Indonesia, ia juga banyak berseberangan. Oleh karena itu, ia dituduh sebagai biang penyebab kegagalan pemberontakan.

Sejak semula, Tan Malaka tidak setuju, melainkan berupaya mencegah rencana pemberontakan. Sebagai pemikir yang cemerlang dan autentik sejak masa muda, Tan Malaka memiliki cukup alasan mengesampingkan pem­berontakan. Salah satu argumennya ialah bahwa kekuatan pergerakan belum cukup matang, masih diperlukan pem­benahan organisasi partai guna menggalang basis massa yang kuat dan meluas.

Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama 2,5 tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948, dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara.

Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi Republik Indonesia akibat Perjanjian Linggarjati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948, di Yogyakarta. Pada tahun 1949, tepatnya bulan Februari, Tan Malaka hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Tapi, akhirnya, misteri tersebut terungkap juga dari penuturan Harry A. Poeze, seorang sejarawan Belanda yang menye­butkan bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalion Sikatan, Divisi Brawijaya.

Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV, Harry A. Poeze kembali merilis hasil penelitiannya bahwa Tan Malaka ditembak pasukan TNI di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, pada 21 Februari 1949. Namun, berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Upaya penggalian makam Tan Malaka pun sejatinya sudah dimulai sejak Peringatan 112 tahun kelahirannya dan 60 tahun hilangnya Tan Malaka pada awal tahun. Rencananya, keponakan Tan Malaka, Zulfikar Kamarudin, yang akan memimpin langsung tim untuk membongkar makam yang ditemukan oleh Harry A. Poeze ini. Namun, karena terkendala proses administrasi, proses penggalian gagal.15

Dengan julukan Patjar Merah Indonesia, Tan Malaka merupakan tokoh utama beberapa roman picisan yang terbit di Medan. Roman-roman tersebut mengisahkan petualangan Patjar Merah, seorang aktivis politik yang memperjuangkan kemerdekaan Tanah Air-nya, Indonesia, dari kolonialisme Belanda. Karena kegiatannya itu, ia harus melarikan diri dari Indonesia, dan menjadi buruan polisi rahasia internasional.

Salah satu roman Patjar Merah yang terkenal adalah roman karangan Matu Mona yang berjudul 'Spionnage-Dienst' (Patjar Merah Indonesia). Nama Patjar Merah berasal dari karya Baronesse Orczy yang berjudul Scarlet Pimpernel, yang berkisah tentang pahlawan Revolusi Prancis. Dalam cerita- cerita tersebut, selain Tan Malaka, muncul juga tokoh-tokoh PKI dan PARI lainnya, yaitu Muso (sebagai Paul Mussotte), Alimin (Ivan Alminsky), Semaun (Semounoff), Darsono (Darsnoff), Djamaluddin Tamin (Djalumin), dan Soebakat (Soe Beng Kiat). Kisah-kisah fiksi ini turut memperkuat legenda Tan Malaka di Indonesia, terutama di Sumatera.