Gorgias, Tentang yang Tidak Ada atau Tentang Alam

Selamat Datang di Blog Materi IPA. Judul Postingan Kali ini tentang Gorgias, Tentang yang Tidak Ada atau Tentang Alam. Semoga bermanfaat untuk dibaca.

Gorgias lahir sekitar tahun 483 SM di Leontinoi, Sisilia. Mula-mula ia adalah murid Empedokles, namun kemudian dipengaruhi oleh dialektika Zeno. Pada tahun 427 SM, ia datang ke Athena sebagai duta kota asalnya untuk meminta pertolongan melawan kota Syrakusa. Sebagai sofis, ia mengelilingi kota-kota Yunani, terutama Athena. Di sana, ia meraih sukses besar. Ia menjadi guru yang sangat dijunjung tinggi dan memiliki banyak murid. Ia meninggal pada usia 108 tahun, kira-kira pada tahun 375 SM.

Karya Gorgias yang menonjol adalah Tentang yang Tidak Ada atau Tentang Alam. Dalam buku tersebut, ia mempertahankan tiga pendirian sebagai berikut.

Pertama, tidak ada yang ada, atau dengan kata lain realitas itu sebenarnya tidak ada. Sementara, Zeno pernah menyim­pulkan bahwa hasil pemikiran itu selalu tiba pada paradoks, dan sesungguhnya realitas itu tunggal dan banyak, terbatas dan tidak terbatas, serta dicipta dan tak dicipta. Karena kontradiksi tidak dapat diterima, maka menurut Gorgias, pemikiran lebih baik tidak menyatakan apa-apa tentang realitas.

Kedua, seandainya sesuatu itu ada, maka ia tidak akan dapat diketahui. Hal ini disebabkan pengindraan itu tidak dapat dipercaya dan merupakan sumber ilusi. Menurut Gorgias, akal juga tidak mampu meyakinkan tentang bahan alam semesta ini, karena kita telah dikungkung oleh dilema subjektif. 

Ketiga, seandainya sesuatu dapat diketahui, maka pengetahuan itu tidak bisa disampaikan kepada orang lain. Hal ini menunjukkan kurangnya bahasa untuk mengomuni­kasikan pengetahuan. Semantik modern mengatakan bahwa kata-kata tidak mempunyai pengertian absolut, melainkan hanya mempunyai pengertian yang relatif.

Dalam tradisi Yunani dikatakan bahwa setelah menulis Tentang yang Tidak Ada atau Tentang Alam, Gorgias berbaiik dari filsafat dan mulai mencurahkan perhatiannya pada ilmu retorika. Ia menganggap retorika sebagai seni untuk menyakinkan (the art of persuasion). Oleh sebab itu, orang tidak cukup mengemukakan alasan-alasan yang diarahkan kepada rasio, tetapi perasaan juga harus disentuh. Dari sinilah, Gorgias kemudian menciptakan gaya bahasa yang menerapkan prinsip ini.