Berbicara tentang ide dan menciptakan peluang bisnis, sosok Tony Fernandes layak untuk diperbincangkan. Tony terkenal dengan kreativitas dan idenya yang cemerlang dalam melakukan perluasan bisnis. Tony adalah seorang pengusaha sukses di Asia yang berasal dari Malaysia. Ia menjadi terkenal setelah berhasil memulihkan maskapai Air Asia yang semula memiliki jaringan rute kecil dan punya utang hampir 100 miliar menjadi sebuah maskapai International dengan pemasukan Rp 282,5 miliar setelah 7 bulan beroperasi.
Dari hanya memiliki dua pesawat, kini Air Asia memiliki 164 pesawat, dan dari hanya 250 karyawan menjadi hampir 12.000 karyawan. Dalam waktu kurang dari 12 tahun, Air Asia telah menerbangkan lebih dari 200 juta penumpang dan memiliki jaringan rute yang luas mencapai 87 destinasi di 22 negara.
Tidak hanya itu, Tony juga berhasil melebarkan sayap bisnisnya melalui Tune Group. Bisnis lain yang tak kalah fenomenal adalah Tune Hotel yang dalam waktu singkat menguasai pasar Malaysia, Filipina, Indonesia, Inggris, Thailand dan India. Tak tanggung-tanggung, perusahaan ini menargetkan untuk membangun 100 hotel secara global pada tahun 2015.
Tony lahir di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 30 April tahun 1964 dengan nama Anthony Francis Fernandes dari keturunan bangsa Goa campuran Portugis Malaka. Bapaknya bernama Dr. Stephen Edward Fernandes dan ibunya Ena Dorothy Fernandes. Bapaknya seorang dokter, sementara ibunya merupakan seorang pebisnis.
Waktu kecil, Tony selalu mengikuti ibunya dalam peijalanan bisnis. Saat berumur 13 tahun, tepatnya pada tahun 1977, ia dikirim oleh orangtuanya ke Epsom College, sebuah sekolah asrama di Inggris. Setelah selesai dari Epsom College, Tony melanjutkan ke London School of Economics and Political Science.
Setelah tamat dari London School of Economics and Political Science, Tony bekerja sebagai auditor. Bekerja sebagai auditor membuatnya bosan. Ia menyerah bekerja sebagai seorang akuntan dan hanya bisa bertahan selang 6 bulan, ia kemudian melamar pekerjaan di perusahaan rekaman. Ia diterima di Virgin Communications sebagai Financial Controller dan bekerja selama 2 tahun, yaitu dari tahun 1987-1989. Kemudian, ia menjadi senior financial analyst di Warner Musik International selama 3 tahun, yaitu dari tahun 1989-1992. Kemudian, ia dipindahkan ke Malaysia.
Tony menjabat sebagai Managing Director pada Warner Music Malaysia dari tahun 1992-1996 (4 tahun). Kemudian, pada tahun 1996, ia diangkat menjadi Regional Managing Director (Asean) Warner Music Southeast Asia dan menjabat selama 3 tahun sampai tahun 1999.
Pada akhir tahun 1999, kariernya meningkat. Ia diangkat menjadi Vice President (Asean) di Warner Music Southeast Asia dan menjabat selama 2 tahun (1999-2001). Tony keluar dan Warner Music dan melepas jabatannya sebagai Vice President (Asean) pada Juli 2001, karena maraknya pembajakan yang menurut Tony adalah akhir riwayat industri musik.
Bersama dengan investornya, McCarthy dan wirausahawan Malaysia, Datuk Pahamin Rajab, Datuk Kamarudin Meranun, dan Aziz Bakar, ia merancang rencana baru berdasarkan maskapai hemat biaya seluruh dunia dan ingin menerapkan model tersebut di Malaysia. Ia kemudian mengakusisi Air Asia dari DRB-Hicom pada tanggal 8 Desember 2001.
Tony kemudian menjabat sebagai CEO (Executive Officer) AirAsia dari tahun 2001-2004, dan kemudian menjadi Group CEO AirAsia dari 2004 sampai sekarang. Ini adalah masa kejayaan dalam peijalanan kariernya. Selain tercatat sebagai pemilik AirAsia, Tony Fernandez juga tercatat sebagai presiden klub sepak bola liga Inggris, Queens Park Rangers (QPR).
Tony resmi menjadi pemegang mayoritas saham QPR setelah membeli 66% saham klub tersebut dari Bemie Ecclestone pada 18 Agustus 2011. Selain sepak bola, Tony juga menjabat sebagai ketua Caterham Formula One Team yang turun ke arena balap dengan nama Lotus Racing (2010) atau Team Lotus (2011). Tony kemudian dikenal sebagai salah satu orang terkaya di Malaysia, Pada Februari 2013, Forbes Asia mengemukakan kekayaan bersih Femandes mencapai $625.000,000, peringkat 21 orang terkaya di Malaysia.
Tak hanya menjadi orang terkaya, Tony juga mendapat banyak penghargaan atas prestasinya. Di antara penghargaan yang diperolehnya : Visionaries & Leadership Series oleh International Herald Tribune, Malaysian CEO of the Year 2003, Emerging Entrepreneur of the year 2004 oleh Ernest and Young, Asia pacific Aviation Executive of The Year 2004,25 Stars of Asia oleh Business Week pada tahun 2005, CAPA legend Award 2009, Frost & Sullivan 2009, Officier de la legion d’ Honneur 2010, Nikkei Asia Prize 2010, CEO Global Masterclass 2010 dan Commander of the Legion d’Honneur (2013).
Waktu kecil, Tony selalu mengikuti ibunya dalam peijalanan bisnis. Saat berumur 13 tahun, tepatnya pada tahun 1977, ia dikirim oleh orangtuanya ke Epsom College, sebuah sekolah asrama di Inggris. Setelah selesai dari Epsom College, Tony melanjutkan ke London School of Economics and Political Science.
Setelah tamat dari London School of Economics and Political Science, Tony bekerja sebagai auditor. Bekerja sebagai auditor membuatnya bosan. Ia menyerah bekerja sebagai seorang akuntan dan hanya bisa bertahan selang 6 bulan, ia kemudian melamar pekerjaan di perusahaan rekaman. Ia diterima di Virgin Communications sebagai Financial Controller dan bekerja selama 2 tahun, yaitu dari tahun 1987-1989. Kemudian, ia menjadi senior financial analyst di Warner Musik International selama 3 tahun, yaitu dari tahun 1989-1992. Kemudian, ia dipindahkan ke Malaysia.
Tony menjabat sebagai Managing Director pada Warner Music Malaysia dari tahun 1992-1996 (4 tahun). Kemudian, pada tahun 1996, ia diangkat menjadi Regional Managing Director (Asean) Warner Music Southeast Asia dan menjabat selama 3 tahun sampai tahun 1999.
Pada akhir tahun 1999, kariernya meningkat. Ia diangkat menjadi Vice President (Asean) di Warner Music Southeast Asia dan menjabat selama 2 tahun (1999-2001). Tony keluar dan Warner Music dan melepas jabatannya sebagai Vice President (Asean) pada Juli 2001, karena maraknya pembajakan yang menurut Tony adalah akhir riwayat industri musik.
Bersama dengan investornya, McCarthy dan wirausahawan Malaysia, Datuk Pahamin Rajab, Datuk Kamarudin Meranun, dan Aziz Bakar, ia merancang rencana baru berdasarkan maskapai hemat biaya seluruh dunia dan ingin menerapkan model tersebut di Malaysia. Ia kemudian mengakusisi Air Asia dari DRB-Hicom pada tanggal 8 Desember 2001.
Tony kemudian menjabat sebagai CEO (Executive Officer) AirAsia dari tahun 2001-2004, dan kemudian menjadi Group CEO AirAsia dari 2004 sampai sekarang. Ini adalah masa kejayaan dalam peijalanan kariernya. Selain tercatat sebagai pemilik AirAsia, Tony Fernandez juga tercatat sebagai presiden klub sepak bola liga Inggris, Queens Park Rangers (QPR).
Tony resmi menjadi pemegang mayoritas saham QPR setelah membeli 66% saham klub tersebut dari Bemie Ecclestone pada 18 Agustus 2011. Selain sepak bola, Tony juga menjabat sebagai ketua Caterham Formula One Team yang turun ke arena balap dengan nama Lotus Racing (2010) atau Team Lotus (2011). Tony kemudian dikenal sebagai salah satu orang terkaya di Malaysia, Pada Februari 2013, Forbes Asia mengemukakan kekayaan bersih Femandes mencapai $625.000,000, peringkat 21 orang terkaya di Malaysia.
Tak hanya menjadi orang terkaya, Tony juga mendapat banyak penghargaan atas prestasinya. Di antara penghargaan yang diperolehnya : Visionaries & Leadership Series oleh International Herald Tribune, Malaysian CEO of the Year 2003, Emerging Entrepreneur of the year 2004 oleh Ernest and Young, Asia pacific Aviation Executive of The Year 2004,25 Stars of Asia oleh Business Week pada tahun 2005, CAPA legend Award 2009, Frost & Sullivan 2009, Officier de la legion d’ Honneur 2010, Nikkei Asia Prize 2010, CEO Global Masterclass 2010 dan Commander of the Legion d’Honneur (2013).
Inspirasi Tony Fernandez
Namun, perjalanan untuk mencapai keberhasilannya tidaklah mudah. Ia telah melalui berbagai tantangan, terutama tekanan harga minyak dunia yang mengancam keberadaan maskapai hemat biayanya.
Bertahun-tahun berkecimpung di industri musik dan awam dengan bisnis penerbangan, keputusan Tony Fernandes untuk menekuni bisnis maskapai hemat biaya dinilai kurang tepat. Tony bahkan dianggap “gila” karena menjual saham serta menggadaikan rumahnya untuk mengakuisisi sebuah maskapai yang sedang “sekarat” dan terlilit utang hampir 100 miliar rupiah. Tak kalah “gila”nya, Tony melakukan akuisisi di saat industri penerbangan lesu pasca tragedi 11 September 2001.
Tony bukanlah orang pertama yang menjalankan bisnis maskapai hemat biaya jarak jauh. Akan tetapi, jika berhasil, maka Tony-lah yang menjadi orang pertama yang bisa membuktikan bahwa maskapai hemat biaya juga bisa memiliki rute jarak jauh. Mengapa demikian? Karena para pendahulu Tony mayoritas gagal dan belum ada yang benar-benar terbukti berhasil dengan gemilang. Laker Airways, Britania Airlines, dan Michael Garvens yang mengusung maskapai hemat biaya jarak jauh mengalami kegagalan.
Bila dilihat pada sejarahnya, tak sedikit orang yang merendahkan potensi maskapai hemat biaya yang didirikan oleh Tony. Sejak kelahiran AirAsia, Tony terlalu sibuk mempertahankan diri dari para pengkritiknya.
“Sejak lama kita memulai, kita belum pernah mendengar seorang pun yang mengatakan AirAsia akan berhasil. Belum ada seorang pun yang percaya sejak hari pertama. Mereka mengatakan, AirAsia dan model LCC tidak akan berhasil. Kemudian, mereka mengatakan bahwa AirAsia hanya akan berhasil di Subang. Selanjutnya, mereka mengatakan kita hanya akan berhasil sebagai maskapai domestik Tetapi kita telah membuktikan bahwa rasa skeptis itu sejauh ini salah, apa pun alasannya", kata Tony.
Para analisis pasar pun lebih cenderung mendukung maskapai udara layanan penuh dibanding maskapai biaya rendah. Mereka beralasan bahwa pasar Eropa dan Amerika semakin berkembang, sementara pasar maskapai udara biaya rendah Asia jauh lebih terbatas dan tidak mendukung pendatang baru.
Selain itu, orang Malaysia telah terbiasa hanya menggunakan satu maskapai udara yaitu MAS. Hal tersebut membuat orang merasa skeptis terhadap kemunculan AirAsia. Mereka tidak yakin dan meragukan bahwa AirAsia akan memenangkan persaingan. Dalam wawancara dengan Airline Business pada tahun 2004, ia mengatakan “Setiap orang menganggap kita gila, tetapi saya tahu itu akan berhasil. Salah satu fakta kunci adalah hanya 6% orang Malaysia terbang (pada waktu itu). Saya kira ini akan tumbuh. Saya tidak menyesal sedikitpun ”, kata Tony.
Faktor paling penting dalam keberhasilan Tony membangun kerajaan bisnisnya adalah kejeliannya dalam melihat peluang. Ia bisa membaca pasar dan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Bagi Tony, membangun sebuah bisnis tidak harus selalu menciptakan sebuah produk baru. Hal utama baginya adalah mengetahui apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dan berusaha untuk memenuhi kebutuhannya itu.
Sebagaimana yang diketahui, AirAsia pionir maskapai hemat biaya di dunia. Sudah ada beberapa maskapai biaya rendah yang berhasil di Amerika dan Eropa. Mengetahui hal itu, maka Tony menyadari bahwa maskapai biaya rendah belum populer di Asia. Tony tanpa pikir panjang langsung mengambil peluang meskipun ia buta tentang bisnis penerbangan.
Menurut Tony, Air Asia tidak menciptakan pasar baru, melainkan memasuki pasar yang telah ada, yaitu pasar yang telah lama diabaikan dan ditinggalkan. Tony menyadari bahwa penumpang pada maskapai udara dengan layanan penuh hampir semuanya adalah pengusaha atau konsumen kelas menengah ke atas. Mereka adalah orang- orang yang mampu membeli tiket mahal.
Namun, menurut Tony, masih ada pasar besar dari orang-orang yang ingin terbang tetapi tidak mampu membeli tiket dengan harga yang tinggi. Untuk itulah, Tony mengembangkan bisnis maskapai biaya rendah di Asia untuk menangkap kelompok besar yang kurang beruang dan tidak dapat ditangkap oleh maskapai lain.
Selain itu, Tony juga memiliki kekuatan merek yang berhasil memengaruhi psikologi masyarakat. Melalui slogan sekarang semua orang bisa terbang (Everyone Can Fly) dan sekarang semua orang bisa terbang lebih jauh (Now Everyone Can Fly Extra Long), Tony telah menanamkan nama AirAsia sebagai merek dalam benak konsumen. Tak hanya itu, Tony juga mengedukasi masyarakat tentang maskapai hemat biaya dan meyakinkan mereka untuk menggunakan jasa penerbangannya.
Tony tampaknya sangat menyadari bahwa hanya sedikit orang yang mampu melakukan perjalanan antar benua, berhubung jaraknya yang jauh, maka biayanya juga mahal. Setelah berhasil membuat orang percaya bahwa mereka bisa terbang dari satu kota ke kota lain dan dari satu negara ke negara lain dalam lingkup Asia, Tony juga ingin membuat setiap orang percaya bahwa mereka juga bisa terbang antar benua dengan harga yang murah.
Sukses dengan Air Asia, Tony mengalihkan perhatiannya pada bisnis jarak jauh, yaitu AirAsia X. Namun, banyak orang yang tidak yakin dengan keputusan Tony. Sebagian investor beranggapan bahwa manajemen AirAsia melangkah terlalu dini. Sejak didirikan pada tahun 2007, AirAsia X telah menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan. AirAsia X saat ini mengoperasikan sebanyak 15 Airbus A330-300s yang menghubungkan Kuala Lumpur dengan 18 destinasi di Asia, Australia, dan Saudi Arabia. Selain melakukan pemesanan pesawat Airbus A330, maskapai juga telah memesan sebanyak 10 pesawat A350-XWB.
Beberapa pelajaran dari kisah Tony Fernandes yaitu : Pertama, lihat apa yang belum digarap oleh orang lain dan pelajari apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Tony menemukan bahwa penerbangan murah belum populer di Asia dan masyarakat selalu ingin terbang dengan biaya murah. Oleh karena itu, ia langsung menggarap pasar yang belum terjamah itu. Fokus dan berjuang sampai dapat hingga perusahaannya menjadi raja maskapai biaya murah di Asia. Kedua, yakini apa yang Anda yakini. Tony menghadapi kritikan yang tidak sedikit. Selain itu, ia juga dihadapkan pada banyak tantangan. Namun, karena ia percaya impiannya bisa terwujud, maka ia pun berhasil mewujudkan impiannya.
Namun, perjalanan untuk mencapai keberhasilannya tidaklah mudah. Ia telah melalui berbagai tantangan, terutama tekanan harga minyak dunia yang mengancam keberadaan maskapai hemat biayanya.
Bertahun-tahun berkecimpung di industri musik dan awam dengan bisnis penerbangan, keputusan Tony Fernandes untuk menekuni bisnis maskapai hemat biaya dinilai kurang tepat. Tony bahkan dianggap “gila” karena menjual saham serta menggadaikan rumahnya untuk mengakuisisi sebuah maskapai yang sedang “sekarat” dan terlilit utang hampir 100 miliar rupiah. Tak kalah “gila”nya, Tony melakukan akuisisi di saat industri penerbangan lesu pasca tragedi 11 September 2001.
Tony bukanlah orang pertama yang menjalankan bisnis maskapai hemat biaya jarak jauh. Akan tetapi, jika berhasil, maka Tony-lah yang menjadi orang pertama yang bisa membuktikan bahwa maskapai hemat biaya juga bisa memiliki rute jarak jauh. Mengapa demikian? Karena para pendahulu Tony mayoritas gagal dan belum ada yang benar-benar terbukti berhasil dengan gemilang. Laker Airways, Britania Airlines, dan Michael Garvens yang mengusung maskapai hemat biaya jarak jauh mengalami kegagalan.
Bila dilihat pada sejarahnya, tak sedikit orang yang merendahkan potensi maskapai hemat biaya yang didirikan oleh Tony. Sejak kelahiran AirAsia, Tony terlalu sibuk mempertahankan diri dari para pengkritiknya.
“Sejak lama kita memulai, kita belum pernah mendengar seorang pun yang mengatakan AirAsia akan berhasil. Belum ada seorang pun yang percaya sejak hari pertama. Mereka mengatakan, AirAsia dan model LCC tidak akan berhasil. Kemudian, mereka mengatakan bahwa AirAsia hanya akan berhasil di Subang. Selanjutnya, mereka mengatakan kita hanya akan berhasil sebagai maskapai domestik Tetapi kita telah membuktikan bahwa rasa skeptis itu sejauh ini salah, apa pun alasannya", kata Tony.
Para analisis pasar pun lebih cenderung mendukung maskapai udara layanan penuh dibanding maskapai biaya rendah. Mereka beralasan bahwa pasar Eropa dan Amerika semakin berkembang, sementara pasar maskapai udara biaya rendah Asia jauh lebih terbatas dan tidak mendukung pendatang baru.
Selain itu, orang Malaysia telah terbiasa hanya menggunakan satu maskapai udara yaitu MAS. Hal tersebut membuat orang merasa skeptis terhadap kemunculan AirAsia. Mereka tidak yakin dan meragukan bahwa AirAsia akan memenangkan persaingan. Dalam wawancara dengan Airline Business pada tahun 2004, ia mengatakan “Setiap orang menganggap kita gila, tetapi saya tahu itu akan berhasil. Salah satu fakta kunci adalah hanya 6% orang Malaysia terbang (pada waktu itu). Saya kira ini akan tumbuh. Saya tidak menyesal sedikitpun ”, kata Tony.
Faktor paling penting dalam keberhasilan Tony membangun kerajaan bisnisnya adalah kejeliannya dalam melihat peluang. Ia bisa membaca pasar dan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Bagi Tony, membangun sebuah bisnis tidak harus selalu menciptakan sebuah produk baru. Hal utama baginya adalah mengetahui apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dan berusaha untuk memenuhi kebutuhannya itu.
Sebagaimana yang diketahui, AirAsia pionir maskapai hemat biaya di dunia. Sudah ada beberapa maskapai biaya rendah yang berhasil di Amerika dan Eropa. Mengetahui hal itu, maka Tony menyadari bahwa maskapai biaya rendah belum populer di Asia. Tony tanpa pikir panjang langsung mengambil peluang meskipun ia buta tentang bisnis penerbangan.
Menurut Tony, Air Asia tidak menciptakan pasar baru, melainkan memasuki pasar yang telah ada, yaitu pasar yang telah lama diabaikan dan ditinggalkan. Tony menyadari bahwa penumpang pada maskapai udara dengan layanan penuh hampir semuanya adalah pengusaha atau konsumen kelas menengah ke atas. Mereka adalah orang- orang yang mampu membeli tiket mahal.
Namun, menurut Tony, masih ada pasar besar dari orang-orang yang ingin terbang tetapi tidak mampu membeli tiket dengan harga yang tinggi. Untuk itulah, Tony mengembangkan bisnis maskapai biaya rendah di Asia untuk menangkap kelompok besar yang kurang beruang dan tidak dapat ditangkap oleh maskapai lain.
Selain itu, Tony juga memiliki kekuatan merek yang berhasil memengaruhi psikologi masyarakat. Melalui slogan sekarang semua orang bisa terbang (Everyone Can Fly) dan sekarang semua orang bisa terbang lebih jauh (Now Everyone Can Fly Extra Long), Tony telah menanamkan nama AirAsia sebagai merek dalam benak konsumen. Tak hanya itu, Tony juga mengedukasi masyarakat tentang maskapai hemat biaya dan meyakinkan mereka untuk menggunakan jasa penerbangannya.
Tony tampaknya sangat menyadari bahwa hanya sedikit orang yang mampu melakukan perjalanan antar benua, berhubung jaraknya yang jauh, maka biayanya juga mahal. Setelah berhasil membuat orang percaya bahwa mereka bisa terbang dari satu kota ke kota lain dan dari satu negara ke negara lain dalam lingkup Asia, Tony juga ingin membuat setiap orang percaya bahwa mereka juga bisa terbang antar benua dengan harga yang murah.
Sukses dengan Air Asia, Tony mengalihkan perhatiannya pada bisnis jarak jauh, yaitu AirAsia X. Namun, banyak orang yang tidak yakin dengan keputusan Tony. Sebagian investor beranggapan bahwa manajemen AirAsia melangkah terlalu dini. Sejak didirikan pada tahun 2007, AirAsia X telah menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan. AirAsia X saat ini mengoperasikan sebanyak 15 Airbus A330-300s yang menghubungkan Kuala Lumpur dengan 18 destinasi di Asia, Australia, dan Saudi Arabia. Selain melakukan pemesanan pesawat Airbus A330, maskapai juga telah memesan sebanyak 10 pesawat A350-XWB.
Beberapa pelajaran dari kisah Tony Fernandes yaitu : Pertama, lihat apa yang belum digarap oleh orang lain dan pelajari apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Tony menemukan bahwa penerbangan murah belum populer di Asia dan masyarakat selalu ingin terbang dengan biaya murah. Oleh karena itu, ia langsung menggarap pasar yang belum terjamah itu. Fokus dan berjuang sampai dapat hingga perusahaannya menjadi raja maskapai biaya murah di Asia. Kedua, yakini apa yang Anda yakini. Tony menghadapi kritikan yang tidak sedikit. Selain itu, ia juga dihadapkan pada banyak tantangan. Namun, karena ia percaya impiannya bisa terwujud, maka ia pun berhasil mewujudkan impiannya.