Sehari setelah kemerdekaan Indonesia, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang untuk yang pertama kali dan mengambil keputusan untuk menetapkan serta mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945. Adapun bahan untuk itu ditetapkan dari hasil sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) kedua yang menghasilkan Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang ditandatangani oleh Mr. Mohammad Yamin pada tanggal 22 Juni 1945. Namun masih ada 'ganjalan' dari Piagam Jakarta itu, terutama pada alinea ke-4 tentang perumusan lima asas falsafah negara Indonesia Merdeka, di mana asas pertama menyebutkan : Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan, syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
‘Ganjalan’ tersebut akhirnya bisa diatasi dengan baik dengan merubah kalimat yang menjadi asas pertama falsafah negara Indonesia menjadi : Yang Maha Esa.
Mohammad Hatta menyampaikan perubahan tersebut setelah sebelumnya berunding dan berkonsultasi dengan empat tokoh Islam terkemuka Indonesia. Salah seorang dari mereka adalah Pemimpin Pusat Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo.
Nama kecilnya adalah R. Hidayat. Dilahirkan di Kampung Kauman, Yogyakarta, tahun 1890. Latar belakang pendidikan formalnya hanya lulusan Sekolah Rakyat (SR), dan seterusnya ia mendalami pendidikan keagamaan. Pendalaman ilmu agama itu dilanjutkannya hingga ke Mekkah Al-Mukarromah. Sekembalinya dari Mekkah, Ki Bagus Hadikusumo lantas dikenal orang sebagai juru dakwah yang hebat sekaligus pemimpin umat yang alim. Ketinggian ilmu agamanya tidak diragukan lagi.
Karena ketinggian ilmu agama yang dimiliki Ki Bagus, Pemerintah Kolonial Belanda, melalui Gubernur Jenderal, mengangkat Ki Bagus Hadikusumo menjadi anggota komisi penyusun Mahkamah Tinggi Islam di Hindia Belanda. Dan ketika masa pendudukan Jepang, Ki Bagus Hadikusumo juga ditunjuk sebagai salah seorang dari 21 orang anggota PPKI. Keberhasilannya bersama 3 tokoh Islam yang lain: K.H. Wachid Hasyim, Kasman Singodimejo dan Teuku Muhammad Hassan dalam memberikan pandangan dan pendapatnya hingga asas pertama falsafah negara berbunyi : Ketuhanan Yang Maha Esa, melegakan semua pihak dan makin menyatukan segenap komponen anak bangsa Indonesia di hari pertama kemerdekaan Indonesia tersebut.
Ki Bagus Hadikusumo adalah sosok yang rendah hati, bersahaja dan tidak silau pada jabatan. Pada tahun 1937 ia pernah diajak sahabatnya yang juga menjadi Ketua Pusat Pimpinan Muhammadiyah, K.H. Mas Mansyur, untuk duduk sebagai Wakil Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah dalam Muktamar Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta. Secara halus Ki Bagus Hadikusumo menolaknya. Namun setelah terus didesak dan demi kemaslahatan umat, Ki Bagus Hadikusumo akhirnya bersedia memenuhi permintaan K.H. Mas Mansyur tersebut.
Ketika Jepang menjajah Indonesia, K.H. Mas Mansyur dipaksa untuk menjadi ketua Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) berkedudukan di Jakarta. Jabatan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah kemudian dilanjutkan Ki Bagus Hadikusumo. Sejak tahun 1942 jabatan tersebut disandang Ki Bagus hingga tahun 1953.
Ketika menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Ki Bagus berhasil melahirkan berbagai karya besar dalam organisasi tersebut, di antaranya Mukadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang berisi pokok-pokok pikiran pendiri Muhammadiyah, K. H. Ahmad Dahlan. Anggaran Dasar tersebut digunakan untuk landasan bagi organisasi Muhammadiyah guna menjalankan perjuangan dan amal usahanya.
Meskipun dalam masa penjajahan Jepang yang terkenal sangat kejam itu Ki Bagus berani menunjukkan jati dirinya sebagai ulama yang menjadi panutan umat. Islam jelas-jelas melarang penghormatan kepada matahari, dan bahkan ibadah shalat sekalipun terlarang dilakukan ketika matahari tengah terbit maupun ketika tenggelam untuk menunjukkan umat Islam tidak menyembah matahari. Ketika pemerintah pendudukan Jepang mengharuskan rakyat Indonesia melakukan upacara sekkrei, yakni membungkukkan tubuh ke arah matahari yang sedang terbit, serta-merta Ki Bagus menentang ‘kewajiban’ tersebut.
Ki Bagus Hadikusumo terus berkiprah dalam organisasi Muhammadiyah hingga tahun 1953. Setahun kemudian, 1954, ulama besar Indonesia itu wafat dalam usia 64 tahun.
Nama kecilnya adalah R. Hidayat. Dilahirkan di Kampung Kauman, Yogyakarta, tahun 1890. Latar belakang pendidikan formalnya hanya lulusan Sekolah Rakyat (SR), dan seterusnya ia mendalami pendidikan keagamaan. Pendalaman ilmu agama itu dilanjutkannya hingga ke Mekkah Al-Mukarromah. Sekembalinya dari Mekkah, Ki Bagus Hadikusumo lantas dikenal orang sebagai juru dakwah yang hebat sekaligus pemimpin umat yang alim. Ketinggian ilmu agamanya tidak diragukan lagi.
Karena ketinggian ilmu agama yang dimiliki Ki Bagus, Pemerintah Kolonial Belanda, melalui Gubernur Jenderal, mengangkat Ki Bagus Hadikusumo menjadi anggota komisi penyusun Mahkamah Tinggi Islam di Hindia Belanda. Dan ketika masa pendudukan Jepang, Ki Bagus Hadikusumo juga ditunjuk sebagai salah seorang dari 21 orang anggota PPKI. Keberhasilannya bersama 3 tokoh Islam yang lain: K.H. Wachid Hasyim, Kasman Singodimejo dan Teuku Muhammad Hassan dalam memberikan pandangan dan pendapatnya hingga asas pertama falsafah negara berbunyi : Ketuhanan Yang Maha Esa, melegakan semua pihak dan makin menyatukan segenap komponen anak bangsa Indonesia di hari pertama kemerdekaan Indonesia tersebut.
Ki Bagus Hadikusumo adalah sosok yang rendah hati, bersahaja dan tidak silau pada jabatan. Pada tahun 1937 ia pernah diajak sahabatnya yang juga menjadi Ketua Pusat Pimpinan Muhammadiyah, K.H. Mas Mansyur, untuk duduk sebagai Wakil Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah dalam Muktamar Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta. Secara halus Ki Bagus Hadikusumo menolaknya. Namun setelah terus didesak dan demi kemaslahatan umat, Ki Bagus Hadikusumo akhirnya bersedia memenuhi permintaan K.H. Mas Mansyur tersebut.
Ketika Jepang menjajah Indonesia, K.H. Mas Mansyur dipaksa untuk menjadi ketua Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) berkedudukan di Jakarta. Jabatan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah kemudian dilanjutkan Ki Bagus Hadikusumo. Sejak tahun 1942 jabatan tersebut disandang Ki Bagus hingga tahun 1953.
Ketika menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Ki Bagus berhasil melahirkan berbagai karya besar dalam organisasi tersebut, di antaranya Mukadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang berisi pokok-pokok pikiran pendiri Muhammadiyah, K. H. Ahmad Dahlan. Anggaran Dasar tersebut digunakan untuk landasan bagi organisasi Muhammadiyah guna menjalankan perjuangan dan amal usahanya.
Meskipun dalam masa penjajahan Jepang yang terkenal sangat kejam itu Ki Bagus berani menunjukkan jati dirinya sebagai ulama yang menjadi panutan umat. Islam jelas-jelas melarang penghormatan kepada matahari, dan bahkan ibadah shalat sekalipun terlarang dilakukan ketika matahari tengah terbit maupun ketika tenggelam untuk menunjukkan umat Islam tidak menyembah matahari. Ketika pemerintah pendudukan Jepang mengharuskan rakyat Indonesia melakukan upacara sekkrei, yakni membungkukkan tubuh ke arah matahari yang sedang terbit, serta-merta Ki Bagus menentang ‘kewajiban’ tersebut.
Ki Bagus Hadikusumo terus berkiprah dalam organisasi Muhammadiyah hingga tahun 1953. Setahun kemudian, 1954, ulama besar Indonesia itu wafat dalam usia 64 tahun.