Bilal bin Rabah ra., Sang Muadzin

Selamat Datang di Blog Materi IPA. Judul Postingan Kali ini tentang Bilal bin Rabah ra., Sang Muadzin. Semoga bermanfaat untuk dibaca.

Siapa tidak mengenal Bilal bin Rabah? Seorang sahabat yang berasal dari kalangan budak. Berkulit hitam karena ibunya yang bernama Hamamah merupakan budak dari Habsyi dan berkulit hitam, Ayahnya bernama Rabah dan seorang yang berkulit putih layaknya suku Arab. Bilal hidup sebagai bu­dak dari pemuka kaum Quraisy yang terkemuka, Umayyah bin Khalaf.

Awalnya kehidupan Bilal layaknya budak yang lain. Seorang budak tidak memiliki hari ini, esok atau pun kemarin. Karena hidupnya pun dikuasai oleh tuannya. Apa yang diperintahkan tuannya, itulah yang dilakukan. Itulah kenapa Bilal merasa hi­dupnya kosong, tidak berarti.

Hingga suatu hari seorang tamu datang ke rumah Umayyah membawa berita tentang Muhammad. Sedikit demi sedi­kit Bilal menjadi tahu kondisi yang sedang terjadi di kota Mek­kah. Saat itu Mekkah sedang heboh dengan berita Muhammad yang membawa agama baru. Agama ini menolak berhala-ber­hala yang selama ini disembah oleh penduduk kota Mekkah. Karena ajaran Muhammad hanya mengajak manusia untuk menyembah Allah Swt.

Dari Umayyah, Bilal sering mendengar kata-kata penuh ke­bencian. Tapi sering pula Umayyah dan teman-temannya me­muji kemuliaan akhlak Muhammad. Hal inilah yang membu­atnya bingung. Tapi dari pembicaraan para budak dan masyarakatyang sempat didengarnya Bilal jadi tahu, bahwa Muhammad adalah orang yang sangat jujur, tidak pernah berdusta, tidak juga gila. Tapi orang-orang menyebut sebaliknya karena takut jika pengikut Muhammad akan bertambah banyak.

Bilal mulai tertarik pada ajaran yang dibawa Muhammad. Perlahan dia mulai meyakini bahwa Allah lah yang memang pantas disembah dibanding berhala-berhala yang tidak bisa bergerak itu. Untuk pertama kalinya timbul keberanian dalam diri Bilal untuk bergerak di luar perintah tuannya. Dia pun me­nemui Rasulullah Muhammad dan menyatakan keimanan­nya.

Kabar masuknya Bilal ke agama Muhammad cepat me­nyebar. Umayyah murka mendapat berita yang menurutnya memalukan. Sepanjang hari dia terus memikirkan cara agar budaknya melepas iman. Kembali seperti dulu, menyembah berhala. ‘Tenang saja, aku akan membuatnya kembali kepada Latta dan Uzza esok hari!” Tekad Ummayyah penuh kemarah­an.

Esoknya, Bilal disiksa habis-habisan. Tinggalkan Muham­mad, kamu pasti akan selamat!” Teriak Umayyah yang kelelah­an.

Melihat Bilal kukuh dengan keyakinannya, Umayyah kem­bali mencambuk Bilal dengan harapan budaknya berubah pi­kiran. Tapi Umayyah dibuat pusing dengan kuatnya tekad Bilal. Maka, dia menyuruh beberapa budak menyeret Bilal ke padang pasir yang terpanggang oleh teriknya matahari. Bilal di­baringkan tanpa baju, lalu ditindih batu besar yang juga panas.

Nyatanya sampai sore datang, Bilal tetap tidak mau me­nyebut Latta maupun Uzza. Umayyah menyuruh Bilal untuk dibawa pulang, lalu diikat pada sebuah kayu. Tak cukup hanya diikat, dia menyuruh anak-anak melempari Bilal dengan batu. Bayangkan betapa hebatnya siksaan yang ditanggung Bilal bin Rabah.

Siksaan itu terjadi bukan hanya sehari, bahkan diulang-ulang sampai beberapa hari. Para orang suruhan Ummayyah sampai merasa kasihan dan menasihati Bilal, “Kau sebut saja Latta, Uzza, maka kami akan membebaskanmu dari siksaan ini."

“Ahad...Ahad," Bilal membalas dengan sebuah penolakan.

“Pujilah Tuhan-tuhan ini sedikit saja...!" Mereka kembali membujuk Bilal.

"Ahad...Ahad, hanya itu yang mampu mulutku ucapkan," lagi-lagi Bilal menolak.

Bilal kembali menerima siksaan dipanggang di bawah terik matahari dan tekanan batu di badannya. Bibirnya hanya me­lafalkan Ahad...Ahad...sebagai bukti dari kesungguhan iman­nya.

"Esok, kau katakan yang baik-baik tentang Latta dan Uzza," ujar seorang suruhan Umayyah, “Kamu katakan Tuhanku Lat­ta... atau Uzza. Maka kami akan melepaskanmu. Kami sudah lelah selama ini menyiksamu"

Esoknya, Bilal kembali mengucapkan Ahad... Ahad... Dia menolak untuk mengingkari keimanannya. Umayyah pun ma­kin geram. Dia malu apalagi teman-temannya sesama pembe­sar Quraisy mulai mengejeknya. Dia juga merasa menjadi tuan yang gagal karena tidak bisa mengatur budaknya sendiri.

“Berilah dia harga melebihi harganya, aku akan memerde­kakannya" ujar Abu Bakar esok harinya. Saat itu Bilal sudah siap diseret ke padang pasir untuk penyiksaan seperti hari-hari kemarin.

Umayyah yang sudah pusing dengan ulah Bilal merasa mendapat jalan keluar yang baik pada penawaran Abu Bakar. “Dari pada aku malu memiliki budak pengikut Muhammad, bagusnya aku jual saja dia,” pikir Umayyah. Lalu dia pun me­nawarkan harga yang tinggi. Abu bakar langsung sepakat dan membebaskan Bilal dari perbudakan yang selama ini membe­lenggunya.

"Pergilah bawa dia, demi Latta dan Uzza seandainya engkau memberinya satu keping emas pun, aku akan melepaskannya.” Teriak Umayyah penuh kemenangan.

Rasulullah sudah berhijrah ke Madinah. Hal itu tidak mem­buat orang-orang musyrik Quraisy senang. Mereka malah makin gelisah karena perkembangan Islam yang cepat Mereka khawa­tir jika dibiarkan Islam akan menjadi kekuatan yang sulit dihan­curkan. Maka, harus dihancukan sekarang, tekad mereka.

Akhirnya, genderang perang pun di tabuh. Di Medan Badar perang pertama terjadi. Bilal dan para sahabat bergerak de­ngan penuh keberanian menghadapi pasukan kaum musyrik. Padahal jumlah mereka lebih banyak hampir 3 kali dibanding kaum muslimin. Bilal pun menjadikan Ahad...Ahad sebagai yel-yel semangat pasukannya.” Ahad.. Ahad...!”

Saat itu Umayyah bin Khalaf pun ikut dalam perang. Awal­nya dia tidak mau ikut ke medan perang tapi karena olok-olok­an dari Uqbah bin Abi Mu'ith, dia pun bergegas mengambil senjata dan mengejar pasukan. Tapi mendengar semboyan "Ahad... Ahad...," Umayyah mulai merasa takut.

Tapi rasa takutnya harus segera hilang karena perang sudah berkecamuk. Dia pun bergerak ke sana ke mari menebaskan pedang. Lihatlah berapa banyak pasukan dari Rasulullah yang terluka olehnya. Bilal yang melihat sabetan Umayyah langsung menyerang bekas tuannya.

“Ahad... Ahad...' Bilal mengumandangkan semboyan itu penuh keberanian, sementara nyali Ummayyah menciut. Bebe­rapa orang pasukan muslimin mengepung Umayyah. Kondisi ini membuatnya makin kalut Dan akhirnya perlawanan Umay­yah berhenti karena dia tewas di tangan Bilal bin Rabah, bekas budaknya sendiri.

Ada sebuah peristiwa mengharukan yang dirasakan Bilal saat pembebasan Mekkah. Waktu itu Mekkah dikepung dari empat penjuru. Peristiwa ini berlangsung dengan damai. Tanpa per­tumpahan darah. Rasulullah memimpin hampir 10 ribu pasukan memasuki Mekkah dengan membaca tahmid dan takbir. Beliau langsung menuju Ka'bah yang dipenuhi 360 buah berhala.

Rasulullah masuk ke dalam Ka'bah didampingi Bilal. Di depan pintu, Rasulullah tampak marah melihat patung seba­gai gambaran Nabi Ibrahim as., sedang berjudi dengan anak panah. “Semoga Allah membinasakan mereka. Sesungguhnya nenek moyang kita tidak berjudi. Ibrahim bukanlah seorang yahudi, dan bukan pula seorang nasrani. Dia adalah seorang muslim dan tidak pernah melakukan kemusyrikan.”

Rasulullah menyuruh Bilal naik ke bagian atas masjid un­tuk mengumandangkan adzan. Kota Mekkah mendadak sepi. Hanya suara Bilal yang melantunkan adzan yang terdengar. Sa­hutan lirih dari ribuan kaum mukminin terdengar mengiringi adzan Bilal. Pada hari itu Islam sudah tegak di tempat awal kebangkitannya.

Semasa Rasulullah hidup, Bilal selalu menjadi muadzin. Tapi setelah Rasulullah wafat. Bilal menolak mengumandangkan adzan lagi. Dia sudah meniatkan sisa hidupnya untuk bersama pasukan Islam. Dia ingin sisa hidupnya digu­nakan untuk berjihad. Selain itu Bilal selalu menangis setiap mengumandangkan "Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah". Dia akan teringat pada Rasulullah yang sangat dicintai­nya.

Pernah suatu hari Abu Bakar meminta Bilal menetap di Ma­dinah dan menjadi muadzin lagi. Tapi Bilal menjawab dengan tegas, “Jika dulu engkau membebaskan aku karena menuruti kata hatimu, maka aku akan menjadi muadzin bagimu. Tapi jika engkau membebaskan aku karena Allah SWT., maka aku bebas memilih.”

“Aku membebaskanmu karena Allah,” sahut Khalifah Abu Bakar sambil melepas kepergian Bilal.

Bilal bergabung bersama pasukan Islam dan bergerak ke negeri Syam. Bertahun-tahun dia berjihad di negeri Syam. Kekhalifahan pun berganti, Umar bin Khattab ra., kini menja­di khalifah. Tibalah waktunya Umar ra., mengunjungi negeri yang sekarang disebut Palestina. Saat waktu shalat tiba, kaum muslimin meminta pada Khalifah agar Bilal mengumandang­kan adzan.

Bilal menaati perintah Khalifah, naik ke menara masjid dan mengumandangkan adzan. Para sahabat yang pernah hidup bersama Rasulullah menangis tersedu-sedu mendengar suara Bilal, terutama Khalifah Umar bin Khattab ra., Kenangan ber­sama Rasulullah kembali hadir dan mendatangkan kerinduan pada mereka.

Bilal melanjutkan sisa hidupnya di Syam. Di medan jihad dia pergi kembali kepada penciptanya, Allah SWT. Dia sudah menepati nadzarnya untuk meninggal sebagai syuhada. Dan di bumi Damaskuslah jasadnya dimakamkan.