Darso

Selamat Datang di Blog Materi IPA. Judul Postingan Kali ini tentang Darso. Semoga bermanfaat untuk dibaca.
Namanya Hendarso, tapi lebih dikenal dengan nama panggung Darso. Di tatar Sunda nama Darso terkenal sebagai seniman; penyanyi pop Sunda dan pemain calung. Dia sudah menghasilkan hampir 300 judul musik berbahasa Sunda dengan bermodalkan calung dan dipadukan dengan musik pop selama lebih dari 45 tahun. Sebagian orang menyebut dia sebagai Michael Darso Si Raja Pop Sunda, mengacu pada raja pop dunia Michael Jackson. Beberapa karya Darso yang terkenal adalah lagu Duriat, Dina Amparan Sajadah, Ararateul (Cucu Deui), Tanjakan Burangrang, Kabogoh Jauh, dan masih banyak lagi lainnya.

Darso lahir di Bandung pada12 Agustus 1945. Kiprahnya dimulai pada tahun 1962 sebagai pemain bas grup Nada Karya dan Nada Kencana. Ia sempat bergabung dengan band milik Pusat Persenjataan Kavaleri Bandung. Namun, kariernya di dunia pop terhenti karena terkena imbas peristiwa G30S/PKI.

Tahun 1968 bersama sang kakak, Uko Hendarso, Darso kembali tampil. Alat musik calung digunakan sebagai instrumen utama. Calung adalah sebuah alat musik tradisional Sunda yang terbuat dari bambu seperti angklung, hanya saja memainkannya tidak dengan cara digoyang tetapi ditabuh. Ia menggunakan calung sebagai pengiring lagu sambil menyusuri jalan-jalan Kota Bandung. Padahal dulu tak ada yang menggunakan calung sebagai pengiring lagu. Calung hanya didengarkan bunyinya, tanpa lagu.

Tampilan musik calung Darso bersama grup Calung Uko Hendarto menarik minat pemerhati musik S Hidayat. Dia lalu membawa Darso tampil di Radio Republik Indonesia (RRI). Bersama grup Baskara Saba Desa, suara Darso didengar banyak orang. Sampai tahun 1978, ia punya grup sendiri, Calung Darso. Di bawah bendera Asmara Record, ia merekam suara di atas pita kaset. Waktu itu Darso bisa merekam musik calung dalam empat-lima kaset per tahun. Lirik lagunya bertema keseharian, kritik sosial, dan tembang cinta.

Darso sering berkaca mata hitam dalam penampilan panggungnya. Rambut panjangnya disisir rapih dan klimis, kadang dibiarkan tergerai mirip mendiang penyanyi terkenal Michael Jackson.

Meski namanya populer, Darso tak berubah. Ia ingin selalu dekat dengan masyarakat. Ia tetaplah pribadi yang tak suka formalitas. Ia tak mau dikawal dan selalu melayani permintaan foto penggemarnya. Sikap rendah hatinya itu membuat dia juga disebut Pak Haji meski Darso belum menunaikan ibadah haji.

Dalam usia yang tak muda, Darso bisa dikatakan tak pernah menolak permintaan untuk pentas. Dia menganggap permintaan masyarakat itu sebagai rezeki yang tidak boleh ditolak. Meski untuk memenuhi permintaan naik panggung itu, Darso merasa lelah secara fisik.

Tetapi, rasa lelah itu seakan hilang ketika dia melihat penonton senang dengan aksi panggungnya yang bak ”cacing kepanasan”. Rasa puas dan senang itu pula yang membuat Darso rela tidak dibayar jika permintaan naik panggung itu datang dari orang tak mampu. Asal jujur, ia tak menargetkan bayaran. Ia pernah manggung di rumah seorang penjual es di Kabupaten Bandung.

Pada tahun 2005 lalu Darso mendapat Anugerah Jabar Music Award sebagai apresiasi terhadap kiprahnya di dunia musik. Kemudian pada 2009 Darso menerima Anugerah Budaya Kota Bandung 2009 bersama seniman lain seperti Kang Ibing dan lain-lain.

Pada hari Senin, 12 September 2011 Darso berpulang ke Rahmatullah dalam usia 66 tahun. Dia meninggal dunia saat dilarikan ke Rumah Sakit Daerah Soreang, Kab. Bandung.