Eka Tjipta Wijaya : Lulusan SD Yang Punya 320.000 Karyawan

Selamat Datang di Blog Materi IPA. Judul Postingan Kali ini tentang Eka Tjipta Wijaya : Lulusan SD Yang Punya 320.000 Karyawan . Semoga bermanfaat untuk dibaca.
Nama Eka Tjipta Wijaya tidak asing lagi bagi mahasiswa, la dikenal sebagai filantropis yang memperoleh rekor MURI karena jasanya dalam bidang pendidikan. Meski banyak mem­berikan beasiswa, sebetulnya Eka Tjipta sendiri tidak pernah mengenyam bangku kuliah. Ia adalah lulusan SD. Kala itu, uang sangat sulit didapat. Sebetulnya Eka ingin melanjutkan sekolah, tapi orangtuanya tidak mampu membiayai sekolahnya. Lalu bagaimana Eka Tjipta bisa menjadi konglomerat, padahal dulu ia sangat miskin?


Eka Tjipta dilahirkan sekitar tahun 1923, maklum zaman dulu belum ada akta kelahiran, jadi orang zaman dulu lebih suka membuat perkiraan tentang tahun lahir mereka. Saat usianya 9 tahun, Eka kecil berlayar selama tujuh hari tujuh malam menuju Makassar. Karena saking miskinnya, Eka dan ibunya tidur di tempat paling jelek di kapal bawah kelas dek. Keduanya sudah sangat bersyukur bisa tidur. Saat hendak mau makan, Eka dan ibunya harus menahan nafsunya untuk makan kenyang, karena ibunya sadar bahwa dirinya hanya memiliki sedikit uang.

Eka dan ibunya asli Tionghoa yang hijrah ke Makassar. Saking miskinnya, sang ibu harus berhutang ke rentenir 150 dollar untuk bisa berlayar ke Makassar, menyusul suaminya yang telah lebih dulu berlayar. Saat tiba di Makassar, Eka Tjipta masih memakai nama aslinya, Oei Ek Tjhong. Di Makassar, ia masih perlu beradaptasi, karena masih menggunakan bahasa China.

Eka Tjipta membantu usaha ayahnya yang membuat toko 1 kecil, setelah dua tahun berdagang, utang 150 dollar baru bisa | dibayarkan. Lulus SD, Eka bermaksud melanjutkan sekolah, tapi 1 waktu itu, uang masih sangat sulit. Sejak saat itu, Eka mulai pe­runtungannya di dunia bisnis. Hanya dua bulan, setelah mulai 1 usaha, Eka kecil sudah mengantongi laba Rp. 20, jumlah yang besar masa itu. Harga beras ketika itu masih 3-4 sen per kilo* ] gram.

Dari keuntungan yang diperolehnya, ia kemudian membeli becak, untuk memuat barang dagangannya.Namun kebahagiaan Eka kecil tidak berlangsung lama, ia harus menelan pil pahit, Jepang menyerbu Makassar. Usahanya hancur, dan ia menjadi pengangguran. Total laba Rp 2.000 yang ia kumpulkan beberapa tahun, hampir habis karena digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Saat itu, Eka sedang galau, ia mengayuh sepedanya berkeli­ling Makassar. Di Paotere (pinggiran Makassar, kini salah satu pangkalan perahu terbesar di luar Jawa), Eka mengamati tumpukan terigu, semen, gula yang masih dalam kondisi layak jual, Ia melihat itu adalah peluang besar. Barang-barahg itu sedang diangkut oleh tawanan Belanda, dan ada banyak tentara Je­pang yang mengawasi.

Mata Eka Tjipat terbelalak. Segera ia belokkan sepedanya, dan cepat pulang, Ia menyiapkan makan dah minuman yang akan dijual kepada tentara Jepang, Sebelum waktu Shubuh tiba, Eka sudah di tempat tentara Jepang itu.

Tampaknya Eka telah mempersiapkan segalanya dengan sangat baik, ia membawa kopi, gula, kaleng bekas minyak ta­nah yang diisi air, oven kecil berisi arang untuk membuat air panas, cangkir, sendok dan sebagainya. Alat tersebut, ia pin­jam dari dapur ibunya, la juga meminjam 6 ayam, yang ke­mudian dipotong dan dibuat ayam putih gosok garam. Sangat lezat tentunya. Eka tak lupa membawa satu botol whiskey, satu botol brandy dan satu botol anggur yang dipinjam dari teman-temannya. Ia mengetahui bahwa tentara Jepang memang ge­mar minuman keras.

Setelah persiapan matang, waktu itu kira-kira pukul 7 pagi. Terlihat 30 orang Jepang dan tawanan Belanda mulai datang bekerja. Dua jam kemudian, tak ada satupun yang mau mam­pir ke tempat jualan Eka. Padahal sebelum Shubuh, ia sudah datang. Apakah Eka putus asa?

Eka sadar bahwa tentara Jepang sangat menurut dengan bosnya. Ia pun mendekati komandan yang ada disitu.. Eka mentraktir si komandan. Sang komandan tampaknya menikmati masakan Eka, ia mencicipi seperempat ayam komplit dengan kecap cuka dan bawang putih, minum dua teguk whisky gratis, si bos bilang 'joto'. Setelah rtu, si komandan merekomendasikan semua anak buahnya dan tawanan diperbolehkan makan minum di tenda Eka. Setelah mereka puas, Eka minta izin mengangkat semua barang yang sudah dibuang.

Barang yang mau diangkat Eka sangat banyak, ia kemudian pulang dan mengerahkan anak-anak kampung mengangkat barang, dan membayarnya 5 - 10 sen. Semua barang diangkat ke rumah dengan becak. Barang yang sangat banyak itu memenuhi ruangan kosong rumah Eka, dan setengah halaman 1 tetangga penuh terisi segala macam barang.

Eka kemudian menyortir barang yang masih layak jual. Terigu yang masih baik dipisahkan. Yang sudah keras ditumbuk kembali dan dirawat sampai dapat dipakai lagi. Eka juga belajar bagaimana menjahit karung. Wah panen betul waktu itu. Eka menaikkan harga barang-barangnya. Semula harga Rp 50 per karung, ia naikkan harga jualnya menjadi Rp 60, tapi karena banyak peminatnya, ia naikkan lagi sampai Rp 150. Harga semen yang awalnya ia jual dengan harga Rp. 20 per karung, kemudian ia naikkan menjadi harga Rp. 40.

Saat itu, ada orang yang biasa membuat kuburan khusus orang kaya hendak membeli semen dari Eka. Eka menanyakan untuk apa membeli semen? Mendengar cerita dari si pembuat kuburan itu, Eka malah menolak menjual semennya. Menurut Eka, jika dijual kepada si pembuat kuburan, ia hanya mendapat Rp 40 per semen. Namun jika ia yang membuat kuburan itu, ia bisa dapat uang Rp 3.500 hingga 6.000 per kuburan. Dan untuk upah tukang, ia cukup membayar Rp 15 perhari, ditambah 20 persen saham kosong untuk mengadakan kontrak pembuatan enam kuburan mewah.

Setelah bahan semen dan besi beton yang ia miliki habis, Eka beralih bisnis, ia mendapatkan bisnis yang lebih besar lagi, yakni menjual kopra. Eka Tjipta Wijaya adalah sosok pebisnis yang tidak mudah menyerah. Dengan kondisi transportasi yang pada waktu itu masih sangat terbatas, ia pun berlayar ke Se­layar (Selatan Sulsel) dan ke sentra-sentra kopra lainnya untuk memperoleh kopra murah.

Dari petualangannya berlayar mencari kopra murah, Eka mendapatkan untung yang sangat besar. Namun, lagi-lagi Je­pang membuat ulah. Jepang mengeluarkan peraturan bahwa jual beli minyak kelapa dikuasai Mitsubishi yang memberi Rp. 1,80 per kaleng. Padahal di pasaran harga per kaleng Rp. 6. Eka lemas tak berdaya.

Eka Tjipta tak menyerah, ia kemudian berdagang teng-teng (makanan khas Makassar dari gula merah dan kacang tanah), gula, wijen, kembang gula. Namun ini tak berlangsung lama, harga barang komoditi yang diperjual belikan jatuh. Modalnya habis, dan ia meninggalkan utang. Ini adalah masa yang berat bagi Eka, ia terpaksa harus menjual barang-barangnya, cincin kawin, dua sedan, satu jip. Semuanya untuk menutup utang.

Setelah itu, Eka memulai usaha dari bawah lagi, ia menjual berbagai barang kebutuhan. Namun, kondisi politik pada masa itu masih gonjang-ganjing. Pada tahun 1950-an, ada Permesta, barang dagangannya, terutama kopra habis dijarah oknum-ok­num Permesta. Modalnya amblas,

Eka tak menyerah, ia mulai lagi, namun angin segar bagi bisnisnya mulai terasakan setelah tumbangnya Orde Lama berganti Orde Baru. Di zaman Soeharto, gejolak politik sangat terkontrol, waktu itu, Soeharto sebagai Presiden dan Panglima TNI sangat menekankan stabilitas keamanan. Setiap oknum yang dianggap akan mengganggu kenyamanan penguasa akan dilibas.

Saat usianya 53 tahun, Eka membangun Tjiwi Kimia, dan memproduksi 10.000 ton kertas dan sekarang telah melampaui 600.000 ton. Pada usianya yang ke-57 tahun, ia mulai berbisnis di sektor perkebunan kelapa sawit, ia memulai dengan 10 ribu hektar di Riau, dengan mesin dan pabrik berkapasitas 60 ribu ton. Eka juga memperbesar portofolionya, dengan meluaskan usahanya di sektor perkebunan teh, ia membangun pabrik teh seluas 1.000 hektar berkapasitas 20 ribu ton.

Saat usianya 59 tahun, ia membeli Bank Internasional In­donesia (BII), yang pada saat itu, hanya memiliki 2 cabang. Dua belas tahun setelah dikelola Eka, BII beranak menjadi 40 cabang, dari asset Rp 13 miliar menjadi Rp. 9.2 trilyun. Saat usianya 61 tahun, Eka membeli PT Indah Kiat dari produksi pulp 50.000 ton per tahun, setelah dikelola selama sepuluh tahun, produksinya meningkat 700.000 ton pulp per tahun.

Eka Tjipta memang tipikal orang yang terus bertransformasi menjadi lebih besar. Ia tidak puas dan mungkin ia menganggap membesarkan bisnis seperti bermain. Bagi Eka Tjipta, bisnis telah menjadi hobi yang menyenangkan. Ia pun terjun di bis­nis real estate. Di Roxy ia membangun apartemen Green Vie. Di Kuningan ada Ambassador, ia juga membangun ITC Mangga Dua, ruko, apartemen lengkap dengan pusat perdagangan.

Tips Bisnis Eka Tjipta Wijaya

1. Jangan menyerah

Pada tahun 2000-2001, Sinar Mas, perusahaan Eka Tjipta mengalami masalah keuangan yang sangat kritis. Bisnis inti mereka, dari kertas dan CPO harganya sedang jatuh, dan utang mereka mencapai 11,5 miliar dollar atau sekitar Rp 103,5 trili­un (kurs Rp 9.000).

Eka Tjipta mampu melewati masa berat tersebut dengan baik, dan kini Sinar Mas tidak hanya menjadi jago kandang, bis­nisnya mengepak dari Kanada, Amerika Serikat, China, Jepang, Eropa, Asia Tenggara, dan Asia Selatan.

Sinar Mas mampu menjadi salah satu raksasa property di Negeri Tirai Bambu. Tak hanya property, Sinar Mas juga berge­rak di perbankan dan ritel. Di Beijing, Shanghai, dan Guang­zhou, Sinar mengibarkan benderanya.

2. Berhati-hatilah menggunakan uang

"Saya Sungguh menyadari, saya bisa seperti sekarang kare­na Tuhan Maha Baik. Saya sangat percaya Tuhan, dan selalu ingin menjadi hamba-Nya yang baik, kalau hendak menjadi pengusaha besar, belajarlah mengendalikan uang. Jangan laba hanya Rp. 100, belanjanya Rp. 90. Dan kalau untung cuma Rp. 200, jangan caba-coba belanja Rp. 210. Wah, itu cilaka betul" pesan si Konglemerat ini.

"Tiap memikirkan utang berikut bunganya yang demikian besar, saya tak berani menggunakan uang sembarangan. ingin rehat susah, sebab waktu terkuras untuk bisnis. Terasa benar tak ada waktu menggunakan uang pribadi,"

3. Berbuat baiklah

Eka Tjipta memang dikenal sebagai konglomerat yang der­mawan, ia telah mendonasikan uang yang sangat banyak yang disalurkan dalam bentuk beasiswa. Meski didirikan pada 2006, Eka Tjipta Foundation (ETF) telah memberikan beasiswa yang sangat banyak, lebih dari 2018 beasiswa S1 telah diberikan oleh ETF bagi para mahasiswa berprestasi selama tahun aka­demik 2007/2008 dan 2008/2009 untuk studi di 30 universitas mitra ETF di seluruh Indonesia.

ETF juga mendapatkan penghargaan dari MURI karena jasanya dalam pengembangan pendidikan di Indonesia. Para mahasiswa S1 yang diberikan beasiswa dari ETF, setelah lulus, diwajibkan kembali ke daerahnya untuk membangun daerah­nya.

ETF membuat program baru yang Program Beasiswa Tjipta Pemuda Bangun Bangsa (TPBB). Dalam beasiswa ini, para pe­nerima yang memiliki prestasi nasional dibiayai untuk studi di 10 perguruan tinggi negeri ternama di Indonesia. Bagi mereka yang mempunyai prestasi di tingkat internasional akan dibiayai untuk studi di 15 universitas ternama dunia. Bagi para peneri­ma beasiswa diwajibkan untuk memanfaatkan ilmunya bagi kebaikan dan kesejahteraan di tingkat nasional.