Cut Nyak Dien : Pejuang Wanita Tangguh dari Serambi Mekkah

Selamat Datang di Blog Materi IPA. Judul Postingan Kali ini tentang Cut Nyak Dien : Pejuang Wanita Tangguh dari Serambi Mekkah . Semoga bermanfaat untuk dibaca.
Pemerintah kolonial Belanda seakan belum bernapas lega sekalipun salah seorang pemimpin Aceh yang ternama, Teuku Umar, telah gugur di medan laga Meulaboh, 11 Februari 1899. Masih ada pemimpin besar Aceh yang luar biasa gigih dan sangat merepotkan mereka sejak lama. Pemimpin yang langsung terjun memimpin pasukannya di me­dan-medan pertempuran seolah tanpa mempedulikan kodratnya sebagai wanita. Dialah Cut Nyak Dien, isteri Teuku Umar. 

Dari tubuh Cut Nyak Dien mengalir deras darah pejuang. Ayahnya, Nanta Setia, adalah pejuang besar negeri Serambi Mekkah itu. Ulubalang Kerajaan Aceh itu telah lebih dulu mengangkat senjata pada tahun 1873 ketika mendapati kecongkakan, kesewenang-wenangan dan keserakahan penjajah Belanda yang menginjak-injak kehormatan dan merampas tanah tumpah darahnya. Keperwiraan Nanta Setia menurun pada Cut Nyak Dien. Maka, sekalipun Nanta Setia gugur sebagai kusuma bangsa, tidak berhenti perjuangan rakyat Aceh dalam usaha mengusir penjajah dari tanah tercinta mereka. Masih ada Cut Nyak Dien yang mene­ruskan tongkat estafet perjuangan ayahanda dan suaminya.



Cut Nyak Dien dilahirkan di Lampadang, Aceh, sekitar tahun 1848. la kemudian menikah dengan pejuang besar Aceh lainnya, Teuku Cik Ibrahim Lamnga. Ketenteraman kehidupan rakyat Aceh seketika terca­bik-cabik karena kedatangan penjajah Belanda yang ingin menancapkan kuku kejam penjajahannya di sana pada tahun 1873. Nanta Setia dan Teuku Cik Ibrahim Lamnga tidak bisa tinggal diam. Mereka memimpin barisan rakyat Aceh untuk menghadapi keserakahan dan kesombongan pasukan Belanda.

Perang Aceh seolah merenggut semua yang dicintai Cut Nyak Dien. Ayahandanya gugur sebagai kembang negeri dalam pertempuran besar itu. Begitu pula dengan suaminya. Teuku Cik Ibrahim Lamnga gugur pada pertempuran di Gletarum pada bulan Juni 1878. Cut Nyak Dien bersumpah untuk membalas kematian ayah dan suami tercintanya, ia juga bersum­pah, hanya bersedia menerima pinangan lelaki yang bersedia membalas kematian almarhum suaminya. Cut Nyak Dien kemudian bergerilya dan memimpin rakyat Aceh melawan tirani yang congkak itu.

Nama Cut Nyak Dien menjadi momok yang menakutkan sekali­gus sosok yang paling dicari pemerintah ko­lonial Belanda di ta­nah Serambi Mekkah itu. Sepak terjang per­juangannya sangat meresahkan serta membuat kerugian yang sangat besar bagi pemerintah kolo­nial. Belum juga menemukan cara untuk mengalahkan Cut Nyak Dien dan pasu­kannya, pemerintah kolonial Belanda semakin dibuat pusing dengan per­lawanan dahsyat Teuku Umar berikut pasukannya. Dan makin pusing pemerintah penjajah itu manakala Cut Nyak Dien dan Teuku Umar bersatu padu, baik sebagai pasangan suami istri maupun sebagai pe­mimpin pejuang, pada tahun 1880.

Cut Nyak Dien dan Teuku Umar berhasil meng­usir penjajah dari daerah Mukim VI yang telah diduduki Belanda sejak tahun 1875.

Jenderal Van Heutz lantas mengerahkan pasu­kan besarnya untuk merebut kembali daerah Mukim VI dan menangkap hidup atau mati Cut Nyak Dien dan Teuku Umar. Jenderal Belanda itu juga meminta ban­tuan kepada Batavia untuk mengirimkan orang yang bisa menjadi penasehatnya guna mematahkan perla­wanan rakyat Aceh yang luar biasa hebat itu. Batavia menjawab permintaan itu dan mengirimkan Snouck Hurgronje pada tahun 1891.

Sekitar 2 tahun sebelum Snouck Hurgronje tiba, terjadi peperangan amat seru di Meulaboh. Peperangan dahsyat yang kembali membuat Cut Nyak Dien menjanda setelah Teuku Umar gugur sebagai kusuma bangsa. Cut Nyak Dien tidak berlarut-larut dalam ta­ngis dan kepedihan melainkan bersegera memimpin pasukannya untuk bergerilya, keluar masuk hutan dan gunung-gunung serta menimbulkan kerugian yang sangat besar pada pihak pemerintah kolonial Belanda dengan serangan-serangan mendadaknya.

Semangat Cut Nyak Dien untuk mengusir penjajah dari negerinya memang terus membumbung tinggi melangit. Namun tidak dengan kondisi fisiknya. Tubuhnya makin melemah di usianya yang melewati setengah abad. Pandangan matanya tak lagi awas. Pembantu setianya, Pang Laot, merasa iba melihat kondisi fisik Cut Nyak Dien. Secara rahasia Pang Laot lantas mengontak Belanda. Pang Laot bersedia me­nunjukkan tempat persembunyian Cut Nyak Dien, de­ngan syarat pemerintah kolonial Belanda bersedia memperlakukan wanita pejuang yang gagah berani itu dengan segala kehormatannya dan bukan memper­lakukannya seperti penjahat perang.

Belanda yang sangat licik itu tentu saja amat girang mendengar tawaran Pang Laot. Strategi penangkapan melalui jalan ‘perundingan’ seperti yang dahulu diterapkan untuk menangkap Pangeran Dipo­negoro, kembali hendak diterapkan pada diri Cut Nyak Dien. Mereka berjanji pada Pang Laot untuk memper­lakukan Cut Nyak Dien dengan sebaik-baiknya. Namun kelicikan Belanda kembali terlihat.

Mengetahui dirinya telah terkepung rapat dan tidak ada celah untuk meloloskan diri, Cut Nyak Dien memilih mati. Tidak sekali-kali Cut Nyak Dien bersedia berdamai dengan kompeni Belanda. Cut Nyak Dien mencabut rencongnya. Na­mun pasukan penangkapnya bertindak sigap dengan merebut rencong dari tangan wanita perkasa itu.

Belanda ternyata mengingkari janjinya pada Pang Laot. Mereka tidak memperlakukan Cut Nyak Dien dengan baik dan malah menawannya di Kutaraja, Banda Aceh. Rakyat Aceh semakin murka mendapati kelicikan pemerintah kolonial itu. Untuk mencegah se­makin berkembangnya kebencian dan kembali mem­bumbungnya api perlawanan rakyat Aceh, Belanda membuang Cut Nyak Dien keluar dari tanah Serambi Mekkah. Sumedang di Jawa Barat yang berhawa sejuk dipandang cocok untuk menjadi daerah pembuangan wanita pejuang Aceh yang luar biasa gigih dan pantang menyerah itu pada tanggal 11 Desember 1905.

Di tanah pembuangannya itulah Cut Nyak Dien menghembuskan napas terakhirnya pada tanggal 6 November 1908. Jasadnya dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.

Pemerintah Indonesia sangat menghargai jerih payah dan sepak terjang perjuangan wanita pejuang tangguh itu dengan memberikan gelar seperti yang diberikan kepada suaminya, Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan, pada tanggal 20 Mei 1964.