Setelah Perang Dunia II berakhir, dunia kemudian seolah-olah terbagi menjadi 2 blok, Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin Uni Sovyet. Dunia juga menjadi tempat yang kurang nyaman mengingat dua Blok tersebut saling berseteru dan menciptakan perang dingin serta ancaman terjadinya perang nuklir. Kondisi dunia makin diperparah dengan masih bercokolnya bangsa-bangsa penjajah atas negara-negara jajahan mereka. Beberapa negara berkembang merasa perlu berbuat sesuatu agar kondisi dunia menjadi lebih baik. Mereka harus berdiri di tengah-tengah dua Blok dan tidak memihak pada salah satu Blok. Untuk itu mereka perlu mengadakan suatu konferensi di antara mereka sendiri. Indonesia mendapat kehormatan untuk menyelenggarakan konferensi tersebut. Salah seorang putra terbaik Indonesia dipilih menjadi pemimpin konferensi - yang kemudian di namakan konferensi Asia-Afrika - tersebut. la adalah Perdana Menteri Indonesia, Mr. Ali Sastroamijoyo.
Ali Sastroamijoyo adalah sosok negarawan, Sejak muda ia telah terlibat dalam pergerakan nasional yang menghendaki negeri tercintanya lepas dari belenggu penjajahan Belanda. la menyelesaikan sekolah hukumnya di Faculteit der Rechtsgeleerdheid, Universitas Leiden, Belanda, dan menyandang gelar Meester in de Rechten (Mr) pada tahun 1927. Ketika masih berstatus mahasiswa, Ali Sastroamijoyo bersama tiga kawannya pernah ditangkap dan ditahan pemerintah Belanda karena aksi-aksi politik mereka. Namun pengadilan Den Haag kemudian membebaskannya.
Tahun 1928 Ali Sastroamijoyo kembali ke tanah air. la lantas berkiprah dalam dunia jurnalis dengan menjadi redaktur surat kabar Janget, mingguan berbahasa Jawa. la juga menjadi wartawan pada harian Sedio Utomo. Selain itu Ali Sastroamijoyo juga mendarmabaktikan ilmunya dengan menjadi guru pada Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta. Untuk menyampaikan aspirasi politiknya, Ali Sastroamijoyo bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dibentuk dan dipimpin oleh lr. Sukarno.
Setelah Indonesia merdeka, Ali Sastroamijoyo tercatat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia dalam tiga kabinet. Yakni Kabinet Amir Syarifuddin I (3 Juli 1947 - 11 November 1947), Kabinet Amir Syarifuddin II (11 November 1947 - 29 Januari 1948), dan Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 - 4 Agustus 1948).
Ketika Belanda melancarkan agresi ll tanggal 19 Desember 1948, Ali Sastroamijoyo ditangkap pasukan Belanda. Bersama beberapa pemimpin Nasional lainnya, Ali Sastroamijoyo diasingkan ke Bangka.
Karier politik Ali Sastroamijoyo terus menanjak. la ditunjuk menjadi anggota delegasi Indonesia dalam Perundingan Roem-Royen (17 April 1949 - 7 Mei 1949). Ali Sastroamijoyo juga ditunjuk menjadi anggota delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang menjadi awal pengakuan pemerintah Belanda atas kedaulatan Republik Indonesia. Keberhasilan-keberhasilan yang ditunjukkan Ali Sastroamijoyo membawanya menjadi Perdana Menteri dalam 2 periode, yakni 30 Juli 1953 - 12 Agustus 1955 dan 24 Maret 1956 - 9 April 1957.
Nama Ali Sastroamijoyo mencuat ke dunia internasional ketika berhasil memimpin konferensi berskala internasional yang diadakan di kota Bandung, Jawa Barat, pada tahun 1955. Konferensi Asia-Afrika membuahkan sepuluh prinsip bersejarah yang dikenal dengan nama Dasasila Bandung. Dari Konferensi Asia-Afrika itulah kelak akan lahir Gerakan Non Blok (Non Aligned Movement) yang berdiri di antara dua Blok yang terus terlibat dalam perang dingin berkelanjutan yang mengancam masa depan dunia.
Ali Sastroamijoyo wafat di Jakarta, 13 Maret 1975. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Pemerintah Indonesia mengangkat Mr. Ali Sastroamijoyo menjadi Pahlawan Nasional.